Ilmu negara 1
Ilmu Negaraok
Ilmu negara merupakan ilmu yang tergolong ke dalam
kelompok ilmu-ilmu sosial yang mempelajari asal-usul, tujuan,
formasi, dan lenyapnya negara secara umum, abstrak, dan
universal. Penjelasan lebih lanjut dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Ilmu Negara “mempelajari negara secara umum”,
maksudnya pembahasan menggunakan dalil-dalil umum,
yaitu pengertian umum mengenai negara. Bila dikenakan
terhadap negara-negara yang ada di dunia ini, maka
umumnya dalil tadi disepakati sebagai kenyataan yang
berlaku.
2|Pendahuluan
2. Ilmu Negara “mempelajari negara secara abstrak”,
maksudnya dalam uraiannya mengemukakan negara
sebagai suatu nilai. Dalam hal ini, yang diamati bukanlah
suatu negara saja, akan tetapi negara pada umumnya.
Dengan demikian, Ilmu Negara dibedakan dengan Ilmu
Tata Negara atau Administrasi Negara dan Ilmu
Pemerintahan. Ketiga ilmu ini mempelajari suatu negara
dalam keadaan yang nyata, misalnya tata negara Indonesia,
administrasi negara Indonesia, dan pemerintahan Indonesia.
3. Ilmu Negara “mempelajari negara secara universal”,
maksudnya nilai-nilai yang terdapat dan berlaku di mana.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa ilmu negara
merupakan ilmu pengetahuan. Maksud dari ilmu pengetahuan
di sini adalah hasil pemikiran manusia yang objektif dan
disusun secara sistematis. Suatu ilmu pengetahuan mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1) Bersifat objektif, maksudnya ilmu pengetahuan juga harus
dapat mengejar kebenaran yang dapat diterima secara
umum;
2) Bersifat sistematis, maksudnya pengertian-pengertian yang
diperolehnya tidak boleh bercerai-berai melainkan
merupakan satu kesatuan yang erat dan utuh.
B. Sistematika Ilmu Negara
Seorang sarjana bernama George Jellinek, dalam bukunya yang
berjudul Algemeine Staatslehre mengungkapkan Ilmu Negara
mempunyai sistematika sebagai berikut:
1. Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan dalam arti yang
sempit (Staatswissenschaft), yang menyelidiki negara dalam
keadaan abstrak dan umum.
2. Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan dalam arti luas
(Rechtswissenschaft), yang terbagi ke dalam 2 kategori
yaitu:
(a) Ilmu pengetahuan yang yang menyelidiki negara
tertentu, misalnya mempelajari lembaga negara,
peradilan, dan sebagainya (Individuelle Staaslehre); dan
(b) Ilmu pengetahuan yang penyelidikannya ditujukan
kepada negara dalam pengertian umum serta lembaga-
lembaga perwakilan yang dipelajari secara khusus
(Pezielle Staaslehre).
George Jellinek, merupakan sosok yang pertama sekali
merumuskan Ilmu Negara sebagai suatu ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri. Karena itu, ia kerap kali diberi julukan
“Bapak Ilmu Negara.” Hal ini menimbulkan pertanyaan, yaitu
apakah sebelum sistematisasi oleh George Jellinek itu Ilmu
Negara telah dipelajari sebagai ilmu pengetahuan? Dalam hal
ini masih menimbulkan spekulasi, sebab pada waktu
sebelumnya, Ilmu Negara belum merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang mandiri dan sifatnya masih deskriptif atau
mencakup segala pengetahuan yang berhubungan dengan
negara. Persoalan seperti agama, politik, kebudayaan, moral,
dan ekonomi yang berhubungan dengan negara dimasukkan ke
dalam pembicaraan Ilmu Negara.
Hal tersebut dapat diketahui dari karya Plato dan Aristoteles
pada masa Yunani Kuno dalam buku yang berjudul Politeia
dan Politica yang membicarakan persoalan-persoalan negara di
dalamnya. Pada masa itu, objek yang diamati dan dipelajari
adalah negara kota (city state) yang dikenal dengan istilah polis
dengan wilayah yang tidak seberapa luas dan jumlah penduduk
4|Pendahuluan
yang tidak banyak. Sehingga tidak mengherankan jika semua
ihwal persoalan yang berhubungan dengan negara dapat
disusun dan dituangkan dalam suatu karya yang membahas
mengenai negara. Tetapi kondisi itu dalam perkembangan
waktu tidak dapat dipertahankan lagi dengan kemunculan
negara bangsa (nation state) dengan batas-batas kedaulatan
yang semakin lama semakin luas dengan jangkauan wilayah
dan penduduk yang lebih besar lagi. Akibat kondisi ini, maka
dibutukan pelajaran mengenai negara yang perlu
disistematisasi dalam ilmu pengetahuan yang mandiri.1
Mengenai pembelajaran di Indonesia, Ilmu Negara
diperkenalkan oleh Universitas Gadjah Mada, saat merintis
sebagai perguruan tinggi swasta (1946). Pada saat menyusun
materi pelajaran untuk Fakultas Hukum, Universitas Gadjah
Mada membandingkan dengan Rechstsschool di Jakarta pada
masa Hindia Belanda. Akan tetapi struktur kurikulum ternyata
dianggap tidak sesuai dengan kenyataan alam kemerdekaan
dan kemudian dicarikan pembanding di Universitas Leiden,
Belanda. Sehubungan dengan itu, kuliah awal Ilmu Negara
diberi titel Staasleer yang mencakup hal-hal pokok mengenai
sendi-sendi negara dan lepas dari kenyataan kolonial.2 Dalam
perkembangannya, ada juga yang menggunakan istilah Teori
Negara, terutama dalam kajian Ilmu Politik, untuk
mensistematisasikan objek penyelidikan mengenai negara
tersebut.3
C. Keterkaitan Ilmu Negara dengan Ilmu Lain
Ilmu Negara telah lama diajarkan, namun baru pada permulaan
abad ke-20 disusun sebagai suatu ilmu pengetahuan secara
sistematis oleh George Jellinek. Dengan adanya perkembangan
situasi masyarakat seperti yang diajarkan oleh Herbert
Spencer4 , maka dibutuhkan cabang-cabang ilm pengetahuan
yang mengadakan penyelidikan khusus mengenai bidang-
bidang tertentu. Dengan adanya kenyataan itu maka Ilmu
Negara kemudian mempunyai relasi dengan cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang lain, yang antara lain dengan ilmu
Hukum Tata Negara, Ilmu Hukum Administrasi Negara, Ilmu
Politik, dan Ilmu Ekonomi.
1. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum Tata
Negara
Telah dikemukakan bahwa Ilmu Negara mempunyai objek
penyelidikan bersifat umum mengenai pertumbuhan, wujud,
formasi, dan lenyapnya negara atau dapat pula mengenai
negara tertentu. Inilah kesamaan Ilmu Negara dengan Ilmu
Hukum Tata Negara, yaitu sama-sama mempunyai objek
penyelidikan berupa negara. Akan tetapi, dalam Ilmu Hukum
Tata Negara, objek penyelidikan itu lebih konkrit, karena
3 Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.
4 Lihat dalam: Syaiful Bahri, 2010, Ilmu Negara dalam Konteks Negara
Hukum Modern, Jakarta, Penerbit Total Media, hlm. 13.
6|Pendahuluan
terikat dengan waktu, tempat, keadaan, dan tata pengaturan
tertentu, misalnya Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum Tata
Negara Amerika Serikat, dan sebagainya.5 Bahkan, ada yang
mengatakan dengan tegas bahwa Ilmu Hukum Tata Negara
adalah hukum mengenai organisasi negara. 6 Oleh sebab itu,
rincian pembahasan dalam Ilmu Hukum Tata Negara dikaitkan
dengan organ-organ negara, hubungan antarorgan negara,
kewaganegaraan, keabsahan undang-undang, dan sebagainya.
Dengan demikian, keterikatan antara kedua cabang ilmu
pengetahuan itu adalah kesamaan dalam objek akan tetapi
persoalan-persoalan yang dibahas berlainan. Sudah barang
tentu, untuk mempelajari Ilmu Hukum Tata Negara harus
mempunyai bekal yang cukup mengenai pokok-
pokok hal yang berkaitan dengan sendi-sendi negara yang
semuanya terdapat dalam Ilmu Negara.
2. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum
Adminsitrasi Negara
Secara umum, hukum adminsitrasi didefinisikan sebagai
hukum yang mengatur hubungan antara organ administrasi
dengan warga masyarakat.7 Bidang-bidang yang menjadi fokus
pembahasan adalah perizinan, pegawai negeri, pajak,
pendaftaran yang menciptakan hak, dan sebagainya. Dengan
demikian, yang dipelajari Ilmu Hukum Administrasi Negara
sama dengan Ilmu Negara yaitu negara. Hanya perbedaannya,
apabila Ilmu Negara menyelidiki sendi-sendi pokok negara
secara umum dan abstrak. Sebaliknya, Ilmu Hukum
Administrasi Negara justru mengkaji “negara dalam keadaan
bergerak”, yaitu hubungan antara (organ) negara dengan
masyarakat.” Oleh sebab itu, Ilmu Negara menjadi dasar dalam
mempelajari Ilmu Hukum Administrasi Negara, karena untuk
mempelajari ilmu terakhir itu membutuhkan juga pengertian-
pengertian pokok yang berkaitan dengan negara.
3. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Ilmu Politik (dis Staswissenschaft, Political Science) adalah
cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara.8 Objek
kajiannya adalah mengenai syarat-syarat berdirinya negara
(Grundlagen), hakikat negara (Wesen), formasi-formasi negara
(Erscheinungsformen), dan perkembangan negara. Walaupun
demikian, tidak semua hal yang bersinggungan dengan negara
dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan dapat
dikategorikan sebagai Ilmu Politik, tetapi bagi politik ini
merupakan unsur penunjang dalam kajian. Misalnya:
a) Sejarah, khususnya yang menyangkut manusia atau negara,
bukan merupakan disiplin Ilmu Politik, kecuali
menyangkut sejarah ketatanegaraan atau konstitusi.
Perilaku kehidupan masyarakat, tindakan individu, sejarah
kesusasteraan, ilmu pengetahuan, kondisi ekonomi, moral,
militer, perjuangan diplomatik; misalnya, semua ini tidak
dikategorikan ke dalam bagian dari Ilmu Politik.
b) Statistik, yang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan,
tidak merupakan bagian dari Ilmu Politik.
c) Politik ekonomi, sepanjang menyangkut hukum ekonomi
yang diterapkan bagi perseorangan, maka tidak
berhubungan dengan negara, sehingga bukan bagian dari
Ilmu Politik.
d) Studi kemasyarakatan, khususnya yang menyangkut
identitas yang tidak berhubungan dengan negara.
Dalam tradisi Yunani, ilmu politik disebut dengan istilah
politiki. Di Jerman dikembangkan kajian Hukum Publik
(Stasrecht) dan Politik (Politics) sebagai dua cabang ilmu
pengetahuan yang berbeda. Belakangan berkembang
diferensiasi lain seperti Statistik Politik, Administrasi,
Hubungan Internasional, dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, terutama dalam praktik
pembelajaran, terdapat perbedaan antara objek kajian Ilmu
Politik di Eropa (khususnya Inggris dan Prancis) dengan di
Amerika Serikat. Pada pembelajaran di Eropa, mereka
mengambil akar materi pada masa Yunani Kuno, sehingga
karakter materinya bersifat konservatif dan normatif.
Sedangkan di Amerika Serikat, Ilmu Politik sudah mempunyai
pengertian yang lebih khusus yaitu mengenai gejalan-gejala
tertentu yang berhubungan dengan negara lain.
Sementara itu, di Indonesia, Ilmu Politik sampai dasawarsa
60-an, masih diajarkan oleh sarjana hukum, sehingga sifat
pengkajiannya analitis dan bersifat normatif. Baru kemudian
dengan rintisan Miriam Budiardjo dan pelembagaan dalam
fakultas yang berdiri sendiri, maka Ilmu Politik mulai
memapankan objek kajian yang mempunyai karakteristik yang
lebih khas dibandingkan objek kajian Ilmu Negara di Fakultas
Hukum. Walaupun metode dan pelembagaan gagasan kajian
berbeda-beda di satu negara dengan negara lain, akan tetapi
secara umum dapat dikatakan bahwa objek kajian Ilmu Politik
adalah mengenai negara. Di sinilah keterikatannya dengan Ilmu
Negara. Dalam hal ini, Ilmu Negara memberikan pemahaman
dasar mengenai hal-hal pokok mengenai negara, sedangkan
kajian aspek-aspek tertentu mengenai negara secara empiris
dilakukan oleh Ilmu Politik. Pada pertumbuhan berikutnya,
objek kajian Ilmu Politik itu menjadi ketentuan-ketentuan yang
berlaku di suatu negara tertentu, sehingga pada
perkembangannya akan dikaji oleh Ilmu Hukum Tata Negara.
4. Hubungan Ilmu Negara dengan llmu Ekonomi
Persoalan peranan negara atau pemerintah di bidang
perekonomian sudah sejak lama menimbulkan perdebatan
ideologis antara empa aliran utama mazab ekonomi dunia,
yaitu (i) laissez faire, (ii) sosialisme, (iii) liberalisme modern,
dan (iv) konservatisme modern. Namun, pertanyaan mendasar
yang dipersoalkan adalah peranan seperti apa yang dimainkan
dalam hal kepemilikan dan pengelolaan pemerintah di
bidang ekonomi.
Menurut teori kedaulatan negara oleh Jean Bodin dan George Jelinek:
Kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan
anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota
masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemahî. Dalam hal
ini, ìteori kedaulatan negara akan berfungsi apabila didukung oleh teori
pengayoman dan teori perlindunganî.
10|Pendahuluan
(1) Aliran Laissez Faire
Beberapa ahli ekonomi berpandangan bahwa laissez faire
sama dengan kapitalisme. Padahal kapitalisme itu sendiri
bukanlah ideologi politik, melainkan suatu sistem ekonomi
yang didominasi pihak swasta terutama dalam hal cara-
cara berproduksi, pendistribusian hasil-hasil produksi, serta
pertukaran barang dan jasa.10 Di belahan dunia barat, laissez
faire adalah ideologi politik yang sepenuhnya bersandar
pada kapitalisme, yang dalam perkembangannya mereka
selalu berusaha agar kapitalisme itu sendiri menjadi sebuah
sistem ekonomi.
Paham laissez faire lahir di Perancis semasa pemerintahan
Raja Louis XIV, dan istilah laissez faire pertama kali
muncul dalam pertemuan khusus dengan Menteri
Keuangan Perancis Jean Baptiste (1619-1683) yang
diprakarsai oleh pemerintah. Ketika Menteri Keuangan
menanyakan apa yang dapat dibantu oleh pemerintah
untuk kepentingan para saudagar, salah seorang di antara
mereka menjawab: laissez faire (leave us alone: “biarkan
kami berusaha sendiri”). Sejak itu laissez faire diakui
sebagai ideologi yangmenghendaki campur tangan
pemerintah sekecil mungkin di bidang ekonomi.
Dengan demikian jelas bahwa kapitalisme adalah
tangan-tangan politik yang bekerja untuk kepentingan
laissez faire dalam mengelola berbagai kebijakan
pemerintah di bidang ekonomi dan bisnis. Dalam
10 Menurut Austin Ranney, capitalisme adalah ìan economic system in
which the means of production, distribution dan exchange are privately
owned and operated. Ibid., hlm. 81.
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. |11
perkembangan selanjutnya laissez faire dipahami sebagai
aplikasi dari semua urusan ekonomi yang bersandar kepada
doktrin Presiden Amerika Thomas Jefferson, “that
government is best which governs least” (pemerintah yang
baik adalah yang memerintah atau mengatur sedikit).11
(2) Aliran Liberalisme Modern
Paham kapitalisme klasik kemudian mendapatkan kritik dan
sorotan tajam. Sekelompok pemikir mulai mempertanyakan
sistem ekonomi liberalisme klasik yang dipandang lebih
cenderung menekankan pengertian bebas dari (freedom from)
campur tangan negara atau pemerintah dalam urusan ekonomi.
Kecenderungan ini kemudian disebut sebagai negative
freedom (kebebasan yang bersifat negatif) karena
penekanan terhadap freedom from tersebut justru memakan
kebebasan itu sendiri. Sebaliknya yang diperlukan adalah
sistem ekonomi yang menekankan freedom to (bebas untuk)
dalam konteks peran negara atau pemerintah di seluruh
bidang perekonomian. Dalam perkembangannya kemudian
freedom to dikenal sebagai positive freedom (kebebasan
yang bersifat positif), yang mendorong pemerintah untuk
secara serius dan riil memberikan jaminan kebebasan hidup
bagi semua lapisan masyarakat.
Ideologi (positive freedom) yang dicetuskan oleh Thomas
Green pada tahun 1880-an ini selanjutnya dikenal sebagai
liberalisme modern. Jadi jelas bahwa penganut “liberalisme
klasik” mendesak pemerintah keluar dari pasar, sebaliknya
“liberalisme modern” memasukkan kembali pemerintah ke
dalam pasar agar setiap orang mendapat perlindungan dari
sistem ekonomi liberalisme klasik yang adakalanya tidak adil
itu.
Untuk melindungi hak-hak setiap orang dalam sistem
ekonomi, liberalisme modern mempromosikan ketentuan
tentang upah dan jam kerja, hak berserikat dan
berorganisasi, asuransi pengangguran dan kesehatan, serta
memberikan kesempatan bagi semua orang untuk
meningkatkan keterampilan bekerja melalui pendidikan.
Liberalisme semacam ini dikembangkan oleh Woodrow
Wilson dan Franklin D. Roosevelt di Amerika Serikat pada
abad ke-20, dengan tujuan pokok untuk mencapai a free
society (masyarakat yang bebas).12
Franklin D. Roosevelt dan kolega-kolega New Deal-nya
berpendapat bahwa liberalisme sejati haruslah menjadi
ìliberalisme yang positif. Artinya, jaminan kebebasan yang
diberikan oleh negara kepada rakyat untuk berbicara dan
memeluk agama masing-masing tidak akan memberikan arti
yang positif apabila anggota masyarakat itu sendiri tidak
bisa: (i) menghidupi keluarganya; (ii) mendapatkan
pendidikan yang baik; dan (iii) mendapatkan jaminan
kesehatan yang cukup memadai.13
Mereka sependapat bahwa proteksi semacam itu harus
diberikan dan dijamin oleh negara sepenuhnya sehingga
mengarah kepada welfare state (negara kesejahteraan),
sebagai suatu sistem di mana pemerintah menjamin
prasyarat kehidupan minimum warganya secara layak
mencakup keadilan mendasar seperti pendidikan, kesehatan,
pekerjaan dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Kendati standar
persyaratan minimum bagi setiap individu pada dasarnya
tidak sama, penganut liberalisme modern pada umumnya
menerima premis bahwa negara harus memiliki tanggung
jawab sosial-ekonomi atas warga negaranya. Sebaliknya
kaum liberalis modern mengembangkan tradisi kebebasan
individu dan pilihan bebas dalam hal urusan non-ekonomi.
Dengan kata lain, para penganut paham ini menjaga
intervensi atau campur tangan negara atau pemerintah di
bidang moral, agama, dan intelektual harus seminimal
mungkin. Untuk itu, pemerintah harus memisahkan secara
tegas fungsi gereja dan negara.
(3) Aliran Konservatif Modern
Aliran konservatisme mempunyai pandangan yang berbeda.
Aliran konservatisme pada dasarnya berurusan dengan upaya
pelestarian nilai-nilai dan institusi tradisional. Persoalan pelik
yang mereka hadapi adalah berbagai perubahan radikal yang
didorong oleh kaum liberal klasik pada abad ke-19.
Penganut aliran konservatisme berkeyakinan bahwa
masyarakat harus tetap berjalan sebagaimana adanya. Akan
tetapi, pemegang kekuasaan adalah kaum bangsawan,
bukan kelompok-kelompok bisnis yang baru muncul.
Setiap majikan harus dapat menjamin kehidupan sosial
para buruh pabrik dan petani, serta kehidupan moral yang
dituntun oleh nilai-nilai tradisi dan agama. Hal ini didasari
pemikiran bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat
14|Pendahuluan
yang hidup dengan tradisi kemasyarakatan dan keagamaan.
Untuk itu setiap anggota masyarakat harus dapat memahami
posisi dan peran masing-masing dalam hierarki sosial,
dengan asumsi bahwa setiap individu telah memahami hak
dan kewajiban masing-masing, serta berhak untuk turut serta
menikmati keuntungan yang diperoleh masyarakat.14
Di Amerika Serikat, gagasan yang dikemukakan Milton
Friedman, yaitu bahwa pasar bebas masih tetap merupakan
jalan terbaik dan kebenaran akan doktrin Adam Smith (“di
manapun pemerintah melakukan campur tangan akan
mengacaukan banyak hal sehingga menimbulkan masalah”),
tidak sedikit kaum konservatisme yang meyakini dan
mengikutinya. Lebih lanjut Milton Friedman mengemukakan
bahwa pilihan individual akan memberikan eksistensi moral
yang lebih baik ketimbang dipilihkan oleh pemerintah, dan
bersama Friedrich von Hayek memiliki pandangan yang
sama bahwa pemerintah seharusnya mengatur usaha swasta
seminimal mungkin atau tidak sama sekali.
Di bidang kegiatan ekonomi, pemerintah harus menegaskan
aturan-aturan dasar persaingan bebas dengan memperkuat
kontrak dan melindungi hak milik pribadi. Dalam hal ini,
pemerintah tidak boleh membatasi keuntungan si pemenang
dan tidak boleh pula mengatasi kerugian pihak yang
kalah. Menurut pandangan kaum konservatif modern,
pengusaha yang kreatif akan berkembang seiring dengan
tumbuhnya pasar serta munculnya produk-produk baru yang
menarik dan bisa mencetak uang.
Harapan mereka adalah setiap pengusaha diperbolehkan
berusaha secara bebas sehingga bisnis lama dapat
berkembang dan sekaligus membangun bisnis baru yang
pada gilirannya akan membuka dan menciptakan lapangan
kerja baru serta membawa kemakmuran bagi banyak orang.
Sebaliknya jika para pengusaha dihambat oleh berbagai
ketentuan yang dibuat oleh pemerintah dan dibebani pula
dengan pajak yang tinggi akan mengakibatkan penurunan
investasi dan produksi secara drastis dan lapangan kerja
semakin terbatas. Dengan demikian jelas bahwa kaum
konservatif modern tetap menghendaki agar pemerintah
tidak membebani pelaku usaha dengan berbagai macam
peraturan yang memberatkan, dan mereka mempertimbangkan
intervensi pemerintah di bidang intelektual, moral, dan
agama.15
(4) Aliran Sosialisme
Pandangan kaum sosialis tentang kebebasan dan persaingan
berbeda dengan aliran lainnya. Karena kebebasan dan
persaingan tersebut sangat erat kaitannya dengan struktur
sosial secara keseluruhan, maka kebebasan dan persaingan
dalam suatu susunan masyarakat yang tidak adil akan
mengukuhkan ketidakadilan itu sendiri. Oleh sebab itu,
negara atau pemerintah tidak bisa tidak harus mengambil
peran tertentu secara lebih aktif agar pihak-pihak yang
lemah dapat dilindungi dari pihak-pihak yang kuat karena
mereka memiliki kekuasaan. Secara moral dan politik, campur
tangan pemerintah di bidang ekonomi dapat dibenarkan dan
bersifat mutlak agar keadilan dan kesejahteraan bersama
dapat diwujudkan bagi semua anggota masyarakat.16
Aliran sosialis (sosialisme) adalah sistem ekonomi dan
sekaligus sebagai ideologi politik. Sebagai sistem ekonomi,
sosialisme merupakan lawan dari sistem ekonomi kapitalis.
Secara sederhana sosialisme dapat dipahami sebagai suatu
sistem ekonomi dengan cara produksi, distribusi, serta
pertukaran barang dan jasa dimiliki dan dioperasikan oleh
publik. Menurut paham kaum sosialis, negara adalah suatu
organisasi yang paling representatif, sehingga konsepsi
“dimiliki dan dioperasikan oleh publik” artinya kuasa
kepemilikan dan operasionalisasi berada di tangan
pemerintah atau negara.
Sosialisme sebagai ideologi politik, dan dalam kaitannya
dengan kontrol di bidang ekonomi, penganut paham ini
meyakini bahwa negara perlu mengembangkan perencanaan
ekonomi dan pengendalian pasar. Hal itu perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya eksploitasi sekelompok orang
atas kelompok lain, dan selain itu untuk menjamin
berlangsungnya distribusi keadilan dan kesejahteraan bagi
setiap orang.17
Dalam perekonomian modern yang sudah sedemikian
kompleks sekarang ini, campur tangan pemerintah terhadap
kegiatan ekonomi merupakan sesuatu hal yang mutlak. Tugas
pemerintah atau para birokrat tidak lagi hanya mengurusi
bidang sosial dan politik, tetapi juga mengurusi masalah-
masalah perekonomian. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya
sistem dan mekanisme perekonomian modern tanpa adanya
peranan pemerintah. Banyak ahli ekonomi berpandangan sama
bahwa negara atau birokrasi adalah entitas kelembagaan yang
paling dominan dan sangat berpengaruh dalam kehidupan
ekonomi suatu negara, karena di tangan negara lah tergenggam
kewenangan politik dan sumber-sumber daya ekonomi yang
sangat besar.
Campur tangan negara atau pemerintah ini semakin
dirasakan urgen bila sudah menyangkut keadilan. Untuk itu
pemerintah diminta bertindak tegas dan bijaksana dalam
membuat peraturan yang pada akhirnya untuk melindungi
masyarakat banyak. Dengan kata lain, dunia bisnis tidak
pernah bebas dari rambu-rambu aturan hukum. Namun perlu
dicatat bahwa dunia bisnis tidak bisa diikat atau
dibelenggu dengan peraturan perundang-undangan yang
rumit karena pada gilirannya akan mematikan kegiatan
bisnis itu sendiri.18
Ketika pemerintah menerapkan suatu kebijakan dan
kebijakan tersebut tidak berjalan efektif di dalam
masyarakat, sering kali pemerintah menuduh masyarakat
telah melakukan kesalahan karena masyarakat tidak dapat
mengikuti dan tidak memberikan respon yang positif
terhadap kebijakan tersebut. Tuduhan pemerintah seperti ini
bisa terjadi karena dua hal mendasar: (i) pemerintah melihat
kebijakannya tersebut hanya dari sudut pandangnya sendiri;
dan (ii) pemerintah belum sepenuhnya mengakomodir
keinginan dan kepentingan individu, berbagai kelompok
dan organisasi sosial dalam masyarakat yang lebih luas.19
Pada dasarnya kebijakan ekonomi merupakan keputusan
politik karena kebijakan ekonomi mempengaruhi distribusi
kekayaan dan pendapatan dalam masyarakat. Golongan yang
memerintah akan menentukan kebijakan ekonomi dan akan
mengambil keputusan dari berbagai alternatif yang tersedia
dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi. Oleh karena
itu, siapa yang memerintah sangat lah menentukan pilahan
kebijakan ekonomi, sedangkan penentuan siapa yang
memerintah merupakan produk politik.20 Menurut Didik J.
Rachbini, bahwa inti dari desain besar suatu kebijakan
ekonomi bermuara kepada dua pilar yaitu bobot institusi
negara dan bobot institusi pasar. Kesalahan dalam meramu
keduanya akan menimbulkan kerancuan atau bahkan kesalahan
dalam desain besar sistem ekonomi-politik. Misalnya, jika
sistem ekonomi terlalu liberal dengan menyerahkan
segalanya kepada mekanisme pasar dan hukum persaingan,
maka tujuan untuk mensejahterakan rakyat banyak tidak
akan pernah terwujud selamanya.
PERKEMBANGAN
TEORI NEGARA
Sejak akhir abad ke-19, di mana kajian ilmu negara telah mulai
memiliki ruang lingkup, fokus, dan kerangka keilmuan yang
jelas,1 negara telah menjadi objek kajian utama, di samping
konstitusi, sejarah negara atau bangsa, dan
pemerintahan.2Dalam perkembangan sebagaimana ditunjukkan
oleh Nordlinger, disebabkan bahwa negara makin menjadi
“badan” yang memiliki otoritas tertinggi dalam semua formasi
masyarakat, maka negara menjadi penting sebagai unit
analisis.3 Dalam posisi seperti ini, maka negara menjadi
kekuatan politik penentu dinamika sosial-politik sebuah
masyarakat dan negara-bangsa.
Pemikiran-pemikiran mengenai negara dalam pengertian
yang umum, sering kali hasil dari spekulasi. Usaha untuk
melakukan deduksi dengan berlandaskan konsekuensi logika
tertentu, masih berdasarkan uraian yang spekulatif. Dengan
demikian, dalam dunia akademik muncul kategorisasi
pemikiran-pemikiran mengenai negara yang beragam,
tergantung kepada sudut pandang yang dipakai dari variabel-
variabel yang dijadikan tolok ukur kategorisasi. Begitu pula
perbedaan pemakaian variabel akan menghasilkan juga
kategorisasi yang tidak sama.4
Ditinjau dari variabel waktu perkembangan pemikiran
negara secara umum (yang dalam materi ini adalah
dikaterogikan pada pra-Perang Dunia II dan pasca-Perang
Dunia II) dan akar ideologis dari pemikiran tersebut (yang
merujuk kepada pemilihan akar ideologi liberal dan marxis)5,
maka dalam literatur dijumpai minimal 8 teori negara yaitu:
1. Teori Negara Korporatis;
2. Teori Negara Strukturalis;
3 Eric A. Nordlinger, “Taking State Seriously”, dalam Myron Weiner
dan Samuel P. Huntington (Editors), 1987,
3. Teori Negara Formal;
4. Teori Negara Kapitalis Klasik;
5. Teori Negara Marxis Klasik;
6. Teori Negara Bonapartis;
7. Teori Negara Pluralis;
8. Teori Negara Organis.
B. Teori Negara Formal
Teori ini melihat negara sebagai sebuah lembaga formal
dengan sudut pandang normatif dan yuridis.6 Negara dikaji
dengan memperhatikan konstitusi dan aturan-aturan yang ada
di dalamnya serta struktur-struktur kelembagaan yang terpola
secara formal. Negara lebih dipandang sebagai sebuah struktur
status daripada tempat perumusan berbagai proses politik dan
dinamika masyarakat.
Negara hanya dipandang sebagai perwujudan dari
seperangkat aturan-aturan normatif, atau negara dilihat dari
segi kesejarahannya secara deskriptif. Pendeknya, negara dikaji
dari sudut das sollen, apa yang seharusnya dilakukan oleh
negara; dan tidak dari sudut das sein, apa yang dilakukan
negara dalam kenyataan.
Fungsi utama negara dipandang hanya sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban sekaligus sebagai media artikulasi
aspirasi masyarakat menurut kontrak sosial telah dibuat oleh
masyarakat dan negara. Teori negara formal ini dapat
dipandang sebagai bagian dari Pendekatan Tradisional,7 atau
Pendekatan Kelembagaan,8 atau Pendekatan Formal9 dalam
kajian ilmu politik.
Negara yang menganut paham berdasarkan hukum pada
abad ke-17 dan paham ajaran negara berkonstitusi pada abad
ke-19 pada umumnya menganut teori ini. Negara dengan tipe
ini, lembaga pemerintah atau eksekutif hanya bertugas
menjalankan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.
Produk hukum yang dihasilkan pada abad ke-17 hingga abad
ke-19 banyak yang tidak memihak rakyat karena lembaga diisi
oleh oleh orang-orang dan kelompok orang yang mempunyai
status ekonomi lebih mapan. Kelompok sosial ekonomi
tersebut membeli suara rakyat dalam pemilu. Kemudian setelah
terpilih menjadi anggota legislatif mereka membuat peraturan
perundang-undangan yang memihak kepentingan individu dan
kelompoknya.10
Jadi, prinsip yang utama adalah negara dan pemerintahan
hendaknya tidak campur tangan dalam urusan warga negara,
kecuali dalam hal yang menyangkut kepentingan umum seperti
misalnya bencana alam, hubungan luar negeri, dan pertahanan
negara. Aliran pikiran semacam ini disebut liberalisme dan
dirumuskan dalam dalil, “Pemerintahan yang paling sedikit
adalah yang paling baik” (the least governemnt is the best
government) atau dengan istilah Belanda dikenal sebagai
Staatssonthouding. Negara dalam pandangan semacam ini
disebut juga Negara Penjaga Malam (Nachtmachterstaat) yang
sangat sempit ruang geraknya. Ditinjau dari segi hukum,
konfigurasi negara semacam ini dikenal juga sebagai Negara
Hukum Klasik.
Menurut Miriam Budiardjo, tatanan yang melekatkan ruang
gerak negara dalam porsinya yang sempit itu didorong oleh
keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara
efektif dengan cara membatasi kekuasaan pemerintahan
melalui konstitusi.11 Dalam hal ini, konstitusi itu menjamin
hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan
negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif
diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga
hukum, yang kemudian mencuatkan ide mengenai
konstitusionalisme.12
Dalam studi ilmu negara, kontekstualisasi kemunculan
Negara Hukum Klasik seperti diuraikan di atas, berpijak
kepada perkawinan antara teori ekonomi kapitalistik Adam
Smith dengan demokrasi konstitusional, yang berimplikasi
fungsi atau kewajiban negara. Seperti dituturkan oleh
Muchsan, agar setiap individu dalam melakukan kebebasannya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka, dibutuhkan
adnaya keamanan dan ketertiban hukum. Dengan adanya
fourable climate dapatlah diciptakan kesejahteraan masyarakat.
Jadi, dalam negara yang bernapaskan liberalisme, perwujudan
kesejahteraan masyarakat lebih banyak diserahkan kepada
masyarakat itu sendiri sehingga fungsi negara terbatas hanya
dituntut menciptakan suatu situasi yang dapat melancarkan
kesejahteraan tersebut.13
Menurut Mochtar Mas’oed14, birokrasi sebagai aktor negara
dalam sistem bernegara ini masih mencakup fungsi yang
terbatas. Fungsi paling sederhana dengan tingkat keaktivan
paling rendah adalah sekedar melakukan administrasi. Ia
hanya melaksanakan pekerjaan secara administratif, mencatat
statistik, dan menyimpan arsip. Kadang-kadang ia digambarkan
seperti “tukang jaga malam.” Kalau masyarakat sibuk bekerja,
negara tidak boleh ikut campur, tetapi kalau masyarakat tidur,
negara harus menjaga keamanan mereka. Ketika negara
sedemikian aktivnya, ia melakukan fungsi arbitrase dan
regulasi. Di sini, ia aktif menerapkan kekuasaan sebagai polisi
dan menyelesaikan sengketa antarberbagai kelompok
masyarakat dan mencoba mengendalikan kegiatan kelompok-
kelompok masyarakat itu sehingga tidak menimbulkan konflik
yang terbuka.
15 Hal ini dapat mengantarkan kepada suatu analisis tentang usaha
pemerintah mengontrol oposisi serta mengembangkan strategi untuk
mengaitkan kepentingan-kepentingan masyarakat sipil yang diorganisir
menurut persekutuannya dengan struktur yang menentukan dari rezim.
Strategi semacam ini disebut sebagai “korporatisme” yaitu suatu strategi
yang lebih berkaitan dengan penyelenggaraan perwakilan kepentingan
rakyat. Untuk itu negara mengatur dan menciptakan kelompok-kelompok
kepentingan dengan monopoli tertentu dan hak-hak istimewa dengan ciri-
ciri: (1) jumlahnya terbatas; (2) bersifat tunggal; (3) keanggotaan bersifat
wajib; (4) tidak saling bersaing; (5) diorganisasikan secara hierarkis; (6)
masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan fungsinya; (7) memiliki
C. Teori Negara Kapitalis Klasik
Teori ini merupakan pertentangan dengan pandangan
kapitalisme klasik Adam Smith tentang pengaturan masyarakat
oleh “tangan yang tidak tampak” (the invisible hand)16 dengan
pandangan demokrasi mengenai negara penjaga malam
(nachtwachtersstaat).17 Dalam teori ini, negara dipandang
sebagai organ kemasyarakatan dengan peran yang kecil. Fungsi
negara didefinisikan sebagai agen pelayanan sosial
kemasyarakatan (social servises).
D. Teori Negara Marxis Klasik
Ini merupakan satu versi teori negara dari Karl Mark (1818-
1883).18 Dalam teori ini negara dipandang sebagai badan yang
tidak mandiri dan tidak memiliki kepentingannya sendiri. Hal
ini terjadi, mengingat negara hanyalah panitia yang bertugas
melayani kepentingan kelas borjuis atau kelas pemilik modal
yang merupakan kelas dominan dan berkuasa dalam
masyarakat. Negara berfungsi untuk mengelola kepentingan
kaum borjuis itu. Negara memainkan peran “tidak penting”
monopoli dalam mewakilkan kepentingan menurut kategori masing-masing;
(8) memperoleh pengakuan, ijian atau bahkan diciptakan sendiri oleh
pemerintah; dan (9) pemilihan kepemimpinan dan cara mengajukan tuntutan
dikendalikan oleh pemerintah. Dengan menunjuk kepada konfigurasi Orde
Baru, kelompok kepentingan dengan ciri-ciri semacam itu antara lain Korpri
(PNS), PWI (wartawan), dan sebagainya. Tentang hal ini periksa: Mohtar
Mas’oed, “Hak-hak Politik dalam Negara Hegemonik: Pokok-pokok
Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23 September 1984,.
atau sekunder, sehingga menjadi alat pemaksa sekaligus
penindas dari kelas dominan terhadap kelas proletar.19
E. Teori Negara Bonapartis
Teori negara ini merupakan versi lain dari teori negara Marx,
yang dihasilkan dari studinya di Perancis di bawah Louis
Bonaparte.20 Dalam teori ini, negara tidak hanya dipandang
sebagai alat yang berkuasa dan tak sekedar pengelola
kepentingan kaum borjouis. Negara mempunyai kemandirian
relatif sehubungan untuk mempertahankan sistem kapitalisme.
Perubahan pandangan ini dipicu adanya pertentangan antara
golongan pemilik modal dengan kaum buruh. Para kaum buruh
menuntut perbaikan kesejahteraan, termasuk upah dan hak
untuk mogok yang ditolak kalangan pemilik modal karena akan
mengurangi akumulasi keuntungan. Dalam kondisi ini, negara
menyadari tidak dipenuhinya tuntutan itu akan berpengaruh
terhadap tujuan jangka panjang negara dan hanya akan
melanggengkan kapitalisme. Oleh sebab itu tekanan kelas
borjuis ditolak oleh negara dan negara bertindak sendiri.
Negara tidak lagi menjadi alat pribadi dari kelas borjuis,
melainkan menjadi alat sistem kapitalisme. Ada suatu spekulasi
bahwa negara Bonapartes ini tercipta dalam keadaan di mana
kelas borjuis sudah dikalahkan dan kelas buruh sudah cukup
kuat untuk menguasai negara.
F. Teori Negara Pluralis
Teori ini melihat negara sebagai alat yang netral dari aktor-
aktor sosial politik yang menguasai atau mempengaruhi negara.
Paham ini menekankan peran penting dari heterogenitas
masyarakat. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok
kekuatan sosial politik yang saling berinteraksi. Menurut
paham ini, tidaklah mungkin ada satu kelompok yang secara
eksklusif mengendalikan negara, yang mungkin terjadi adanya
kelompok tertentu yang lebih dominan dibandingkan dengan
kelompok yang lain.
Negara, menurut paham ini, mencerminkan pluralisme yang
ada dalam masyarakat dengan jalan menjadikan dirinya cermin
pluralitas, serta dengan melaksanakan kebijakan sejalan dengan
keragaman kepentingan masyarakat. Semua kelompok,
golongan atau kepentingan, bersama-sama mempengaruhi dan
mengendalikan negara sebagai alat yang netral.22
G. Teori Negara Korporatis
Menurut Kevin Passmore, gagasan korporatisme secara
sederhana diartikan sebagai sebuah proses pengambilan
putusan atau kebijakan yang dilakukan oleh lembaga badan
yang terorganisir. Lembaga yang ada itu mencerminkan
kepentingan-kepentingan yang ada, seperti serikat buruh,
organisasi pengusaha, kelompok keluarga dan petani, dan
sebagainya. Dan itu tidak termasuk pemerintah atau
parlemen.
Dalam pandangan Passmore, korporatisme itu mempunyai
motif politik untuk menciptakan proses politik yang
terorganisir. Jalan yang ditempuh adalah mengikat setiap
asosiasi yang ada sehingga tunduk kepada kemauan negara,
untuk menciptakan suatu patriotisme alamiah dari setiap kelas
masyarakat.24 Gagasan ini telah berkembang jauh ketika Plato
menulis karya yang berjudul Republic, bahkan secara praktis
sudah dilaksanakan pada masa pemikiran Abad Pertengahan
Berjaya dalam wujud konkritnya yaitu pandangan fungsional
tentang masyarakat.25
H. Teori Negara Strukturalis
Teori ini memperlihatkan bahwa negara memiliki kemandirian
secara relatif yang biasa disebut otonomi relatif negara.26
Kemandirian negara dianggap lahir karena terjadi konfigurasi
struktural dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, kemandirian negara yang
bersifat relatif itu muncul dari perubahan sosial dan bukan
negara yang memformasinya. Dengan demikian, kemandirian
negara tidak merupakan inisiatif negara, melainkan produk
konfigurasi struktural masyarakat.
I. Teori Negara Organis
Teori ini memperlihatkan bahwa negara memiliki kemandirian
yang besar.27 Negara bukanlah cermin dari tuntutan dalam
masyarakat. Negara berperan aktif dalam mengambil kebijakan
non-demokratis sehingga negara “tidak melayani kepentingan
umum.” Yang terjadi adalah sistem totalitarianisme yaitu suatu
keadaan di mana akhirnya elit negara berlomba-lomba
berkuasa guna memenuhi ambisi kekayaan pribadi.
DEFINISI DAN
HAKIKAT NEGARA
A.
Definisi negara berisi hakikat dan esensi karakteristik negara
yang sesungguhnya. Sekali pun demikian rumusan defisini itu
berada dalam alam gagasan manusia, sehingga tidak berbicara
negara itu sendiri, melainkan gambaran hal-hal yang berkaitan
dengan negara. Definisi negara berkembang dalam
pertumbuhan sejarah pemikiran manusia dan umumnya
merupakan hasil dari spekulasi filosofis. Definisi negara yang
universal diterima ketika didasarkan kepada penyelidikan
berbagai pemikiran kemudian diambil ciri-ciri karakteristiknya
dari kenyataan yang bersifat umum. Definisi negara yang
paling ideal mempertimbangkan kenyataan manusia sebagai
makhluk politik.
Ciri-ciri umum karakterisitk negara mencakup:
1. Negara merupakan gabungan dari sejumlah kehidupan
manusia.
32 | Definisi dan Hakikat Negara
2. Negara eksis karena adanya ikatan jiwa antara manusia
dengan negara.
3. Negara terdiri atas kesatuan yang meliputi bangsa-bangsa.
B. Pendapat Ahli
Ada sejumlah pendapat yang disampaikan oleh para ahli
mengenai definisi negara.
1. Menurut Poulantzas, negara merupakan badan yang
dominan, hegemonik, dan mandiri dalam membuat
kebijakan.1
2. Menurut Anthony Gidden, negara merupakan badan yang
kuat untuk menggapai tujuan jangka panjang guna
melindungi sistem produksi kapitalis.2
3. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat
yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa di mana individu atau kelompok
merupakan bagian dari masyarakat itu.3
4. Menurut Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik
secara sah dalam suatu wilayah.4
5. Menurut Robert Mac Iver, negara adalah asosiasi yang
diselenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat pada
suatu wilayah yang berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh pemerintah.5
6. Menurut Woodrow Wilson, negara merupakan orang-orang
yang diorganisasikan dalam suatu wilayah tertentu.6
7. Menurut Miriam Budiardjo, negara merupakan suatu
daerah yang rakyatnya diperintah oleh pejabat yang
menuntut kepatuhan warganya menurut aturan serta melalui
kontrol dan kekuasaan yang sah.7
Jika diperhatikan berbagai pendapat para pakar di atas
menunjukkan sifat spekulasi filosofis mengenai kedudukan
negara sebagai alat/agency yang mempunyai wewenang
tertentu dalam mengendalikan persoalan-persolan dalam suatu
wilayah tertentu. Singkatnya, negara merupakan alat untuk
mencapai suatu tujuan dan alat itu berupa organisasi yang
berwibawa.8
C. Hakikat Negara
Sifat hakikat dari sebuah negara senantiasa sama walaupun
corak negara itu berbeda satu sama lain. Sebagai organisasi di
masyarakat, ia dibedakan dari organisasi-organisasi lain karena
negara mempunyai sifat-sifat yang khusus. Kekhususannya
terletak pada monopoli kekuasaan jasmaniah yang tidak
dimiliki oleh organisasi yang lain.
Hal ini karena negara dapat mendisiplinkan warganya
melalui mekanisme penjatuhan hukuman. Selain itu, negara
juga dapat mewajibkan warganya untuk mengangkat senjata
kalau negara itu diserang oleh musuh. Kewajiban itu juga
berlaku bagi warga negara di luar negeri. Negara dapat
memerintahkan warga negara untuk memungut pajak dan
menentukan mata uang yang berlaku di dalam wilayahnya.
Dengan demikian hakikat negara dapat dikualifikasi ke dalam 3
karakteristik sebagai berikut:
1. Bersifat memaksa.
2. Bersifat monopoli.
3. Bersifat mencakup semua (all-encompassing all
embracing).
UNSUR-UNSUR
NEGARA
A.
Sekali pun sudah sering dicoba, hingga kini sulit untuk
menentukan secara pasti unsur-unsur yang memformasi
negara.1 Ketentuan yang pasti yang menentukan unsur-unsur
berdirinya suatu negara terdapat dalam The 1933 Montevideo
Convention on the Rights and Duties of States2 yang
menyebutkan adanya empat unsur-unsur sebagai hal yang
menentukan pemformasian negara.
1Lihat: the International Law Commission’s work on the proposed
Declaration on the Rights and Duties quoted in Crawford, Creation of States
in International Law, hlm.38-39.
2 Crawford J., 2006, Creation of States in International Law, 2nd
edition, Oxford University Press, hlm. . 32.
36 | Unsur-Unsur Negara
Unsur-unsur tersebut adalah (i) jangkauan wilayah yang
pasti; (ii) diselenggarakan oleh pemerintahan yang efektif; (iii)
adanya penduduk sebagai warga negara yang tetap; dan (iv)
kemampuan untuk melakukan hubungan internasional,
termasuk kewajiban menaati perjanjian internasional.3 Unsur-
unsur itu sering disebut sebagai the tradisional kriteria.
Kriteria itu diakui menurut prinsip efektivitas4 dan dalil dalam
bahasa Latin ex factis jus oritur, yang artinya kepastian hukum
menggambarkan sebagian dari fakta.5 Hanya saja dewasa ini
diperkenalkan unsur lain sebagai syarat berdirinya negara yaitu
exepcitional case.6
B. Wilayah
Syarat ini menjadi problematik. Tak ada ketentuan yang pasti
berapa kah luas minimum suatu wilayah untuk ditetapkan
sebagai salah satu unsur yang memformasi negara. Crawford
mengatakan, hak suatu negara yang independen untuk
menyusun pemerintahan yang berada dalam suatu wilayah
tertentu.7 Dalam formulasi ini, mempunyai makna sebagai
“kedaulatan wilayah.” Jangkauan kedaulatan wilayah ini,
menurut pendapat Mahkamah Internasional dalam Island of
Palmas Case, “involves the exclusive right to display the
activities of a State.”8
Suatu negara baru akan mampu mengontrol dirinya terhadap
“negara induk”, akan tetapi bukanlah dapat dikatakan sebagai
hal yang sebaliknya, apabila negara tersebut tidak mampu
berdaulat atas wilayahnya sendiri, dianggap belum dalam
kondisi sebagai negara mandiri. Masa kendali kontrol itu dapat
berlangsung dalam bermacam-macam situasi, akan tetapi 2
tahun adalah suatu masa sebagai “the minimum time period
necessary to qualify as a state.”9
C. Penduduk
Unsur ini dalam sejumlah kasus tidak dianggap sebagai suatu
masalah. Kenyataannya, definisi unsur ini diperluas sedemikian
rupa untuk dapat mencakup seluruh bagian dari tuntutan.
Syarat “tetap” dalam unsur ini dapat diartikan dalam 2 hal.
Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai
dasar untuk menentukan tempat tinggalnya. Kedua, wilayah
itu—sebagai tempat tinggal—dapat diajukan tuntutan sebagai
lingkungan tertentu. 10 Pada asasnya tak ada ketetapan yang
pasti jumlah penduduk minimum untuk memformasi negara.
Penentu status penduduk adalah ikatan hukum dalam satu
kebangsaan.
D. Pemerintahan yang Efektif
Menurut Crawford, “The requirement that a putative State
have an effective government might be regarded as central to
its claim to statehood.”12 Makna pemerintahan sendiri dapat
dikaitkan dalam hubungan kepada 2 hal. Pertama, meliputi
lembaga-lembaga politik, administratif, dan eksekutif, yang
bertujuan untuk melakukan pengaturan dalam komunitas yang
bersangkutan dan melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan
dalam aturan hukum. Kedua, dengan menggunakan prinsip
afektivitas, kriteria government menunjuk kepada makna
“pemerintahan yang efektif” yang berarti lembaga politik,
administratif, dan eksekutif sungguh-sungguh melaksanakan
tugasnya dalam wilayah yang bersangkutan dan diakui oleh
penduduk setempat.13 Supaya efektif, maka pemformasian
lembaga-lembaga itu didirikan dan diatur oleh hukum yang
ditetapkan setelah pemformasian negara yang bersangkutan.14
Dalam hukum internasional tak ada ketentuan pasti
bagaimanakah kriteria kekuasaan negara itu dijalankan kecuali
berdasarkan bahwa hal itu berhubungan dengan self
determintion right. Keberadaan sistem pemerintahan akan
menjamin kepastian hukum berdirinya negara dan umumnya
sudah dipersiapkan saat pendirian suatu negara.
E. Hubungan dengan Negara Lain
Sebagian ahli menyebutkan syarat ini merupakan unsur
deklaratif, dan bukan unsur konstitutif berdirinya suatu negara.
Hal ini karena kemampuan menjalin hubungan dengan negara
lain lebih merupakan konsekuensi lahirnya suatu negara
dibandingkan sebagai syarat pendiriannya.15 Bahkan, syarat ini
tak hanya diperuntukkan bagi negara, akan tetapi juga untuk
organisasi internasional, termasuk bagian dari pengaturan
konstitusional seperti halnya dalam sistem federasi.16
F. Kriteria Modern
Konsep afektivitas memegang peran utama dalam syarat
berdirinya negara.17 Afektivitas bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum dalam situasi nyata. Alasan penggunaan
prinsip ini adalah karena tidak adanya lembaga terpusat yang
mampu memaksakan hak dan kewajiban di tingkat
internasional.18 Oleh sebab itu, prinsip efektivitas merupakan
syarat pengakuan status hukum.
Dalam kaitannya dengan penentuan unsur-unsur berdirinya
negara, prinsip efektivitas bertujuan untuk landasan
menghadapi gugatan pihak lain. Pendiri negara sudah
melakukan perhitungan terhadap tindakan-tindakan mereka
saat menyatakan berdirinya suatu negara. Andai kata penentuan
syarat wilayah misalnya, dilakukan menurut suatu perjanjian
sebagai landasan hukum, maka prinsip efektivitas ini menjadi
tak begitu penting. Dalam kasus kolonisasi, ketidakmapuan
pemerintahan bekerja secara efektif merupakan kompensasi
dari adanya “right of external self-determination.”19
Di dalam praktik, prinsip efektivitas ini tak hanya berlaku
untuk penentuan unsur-unsur berdirinya negara. Misalnya,
dalam kasus Ethiopia, Austria, Czechoslovakia, Poland, the
Baltic States, Guinea-Bissau, dan Kuwait diakui sebagai negara
sementara keberadaan unsur-unsur pendiriannya tidak efektif.
Kemudian dalam kasus Rhodesia, Taiwan, dan the Turkish
Republic of Northern Cyprus, sekalipun unsur-unsurnya
efektif, akan tetapi tak dapat diakui sebagai negara. 20 Ada
banyak istilah untuk menyebut negara dalam kondisi ini,
seperti de facto state, quasi state, unrecognized state21,
unacknowledged condition22, pseudo state23, isolated state24,
ostracised state25, dan separatist state.
22 R. Baker, “Challenges to Traditional Concepts of Sovereignty”,
Oleh sebab itu, secara akademik, di samping prinsip
efektivitas, penilaian unsur-unsur berdirinya negara dalam
kajian kontemporer mengajukan usul kriteria modern.
Crawford menyebutnya sebagai kriteria de facto. Seperti kasus
Taiwan yang telah efektif mempunyai unsur-unsur pendirian
negara, akan tetap tak dapat bertindak sebagai negara dalam
ranah hukum internasional.27 Menurut Michael Rywkin, de
facto state lahir karena “detachment from a ‘parent state’ as a
result of an ethnic or religious conflict or state disintegration,
the wrong policy of a respective ‘mother state’ causing fear
among the population of the territory in question, existence of
an outside protector supporting the claims of the quasi-state,
lack of substantial recognition of the quasi-state, the fact that
despite their need for external support, these territorial units
function like real states.”28
Menurut Pål Kolstø, pengertian de facto state mempunyai 2
konsepsi yaitu, “the first one is a recognized state which has no
effective machinery to assert factual control over its whole
territory, the second case refers to the situation in which a
region of a respective state has seceded from that state and has
gained effective territorial control over a portion of the land
claimed by its elites, but the lack of recognition is its essential
feature.”29 Sehubungan dengan itu, penulis yang sama
mengatakan bahwa, “in order to clear up this confusion,
recognized but ineffectual states ought to be referred as ‘failed
states’, while the term ‘quasi-states’ ought to be reserved for
unrecognized, de facto states.”30 Selanjutnya diuraikan bahwa
“It is of overwhelming importance to note that the concept of
sovereignty is crucial in the context of clarifying the status of
the territorial entities involved. Kolstø asserts that modern
states are in possession of double sovereignty: internal (vis-Ã -
vis their citizens) and external (vis-Ã -vis foreign states) and it
follows that failed states and quasi-states represent deviations
from this ‘normal’ situation as the first category lacks internal
sovereignty despite its international recognition and in the
second case ‘the state as such is not accepted by the
international community as legitimate.”31
Menurut S. Pegg, “a de facto state exists where there is an
organized political leadership which has risen to power
through some degree of indigenous capability; receives
popular support; and has achieved sufficient capacity to
provide governmental services to a given population in a
specific territorial area, over which effective control is
maintained for a significant period of time.
ASAL MULA NEGARA
Pembahasan mengenai terformasinya negara dapat dibagi ke
dalam beberapa masa tahap pemikiran sebagai berikut:
1. Masa Yunani Kuno
2. Masa Romawi Kuno
3. Abad Pertengahan
4. Abad Renaissance
5. Masa Aukflarung
6. Masa Berkembangnya Teori Kekuatan
7. Masa Teori Positivisme
8. Masa Teori Modern
Berikut disajikan pembahasan pemikiran mengenai asal
mula negara dalam masing-masing periode secara ringkas.
A. Masa Yunani Kuno
Pada masa ini, pemikiran mengenai asal mula negara tumbuh
bukan karena Yunani sudah terformasi sebagai suatu negara
yang mandiri. Pada abad 4-8 SM masyarakat Yunani —atau
yang menggunakan bahasa atau terpengaruh kebudayaan
Yunani— tersebar di banyak tempat seperti Yunani, Kepulauan
Aegean, pesisir Asia Kecil, dan Kepulauan Sicily dan Italia
Selatan, termasuk semenanjung Mediterania termasuk Spanyol
dan Prancis, Libya, Mesir, dan Laut Hitam.
Bangsa Yunani tersebar di ratusan polies, salah satunya
adalah Athena, yang dikenal telah memenuhi persyaratan
sebagai sebuah negara modern, tetapi komposisinya sedikit
lebih besar dibandingkan dengan sebuah desa di negara modern
dewasa ini. Berbagai polies secara esensial merupakan
kesatuan politik yang independen, yang berhubungan antara
satu dengan yang lain, termasuk independensi dalam
menetapkan hukum dan menyusun kebijaksanaan masing-
masing.
Athena adalah polis terbesar dari jumlah penduduk,
kekuasaan, dan pengaruhnya, sampai kemundurannya akibat
orang Sparta. Pada masa Yunani Kuno ini, khususnya di
Athena, telah muncul banyak orator ulung, termasuk pemikir
filosof seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filosof itu
kebanyakan tinggal di wilayah Ionia (kawasan Asia Kecil, kira-
kira di Turki sekarang).1
Socrates (469-399 SM)
Menurut Socrates, negara bukanlah organisasi yang dapat
dibuat oleh manusia untuk kepentingan diri sendiri. Negara
adalah jalan susunan objektif yang berdasarkan hakikat
manusia. Manusia saling membutuhkan, manusia saling
bergaul, dan manusia saling menolong. Oleh karena itu, tugas
negara adalah melaksanakan hukum. Hukum yang objektif
mengandung keadilan bagi umum dan tidak semata-mata
melayani kebutuhan penguasa yang oknum-oknumnya silih
berganti.
Dalam pandangan Socrates, dengan berjalannya hukum dan
pemerintahan mempunyai efek untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan dan ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum,
akan menimbulkan tiga keadaan: seseorang akan melukai
orang tuanya, guru, dan mengingkari janji yang telah dibuat.
Oleh sebab ketidakpatuhan ini, akan mendorong perilaku
berbohong yang akan membahayakan negara secara
keseluruhan. Socrates menentang pendapat Glaucon, yang
mengatakan bahwa secara kodrati manusia memang senantiasa
berbuat tidak adil dalam pergaulan dengan sesama. Menurut
Socrates, manusia mempunyai kekuatan untuk menghindari
perilaku salah atau menyalahkan orang lain dan akan segera
mengambil faktor penentu lain untuk memperoleh kemanfaatan
dalam berhubungan dengan orang lain dan komitmen ini
tidaklah tercantum di dalam aturan-aturan yang dibuat oleh
negara.
Cara pandang Socrates yang mengajarkan pola pikir kritis
itu dianggap berbahaya. Oleh karena itu ia kemudian
ditangkap, diadili, dan dihukum dengan cara minum racun.
Selama dalam masa tahanan dan sebelum saat pelaksanaan
hukuman, sesungguhnya Socrates dapat dengan leluasa
melarikan diri dari penjara. Kawan satu tahanan pun membujuk
Socrates segera mengubah pandangan-pandangan hidupnya
supaya terbebas dari hukuman, akan tetapi Socrates menolak.
Alasan Socrates adalah sudah menjadi kewajiban setiap warga
negara untuk mematuhi hukum yang berlaku, sekalipun ia
sendiri menyadari bahwa ia menjadi korban dari perlakuan
hukum yang tidak adil tersebut.
Plato
Plato (427-347) adalah murid Socrates. Di dalam buku yang
berjudul Protagoras, Plato mengatakan bahwa sekali pun
manusia mempunyai kekuatan untuk memperoleh makanannya
sendiri, dirinya tak akan mampu menghadapi kekejaman seekor
binatang. Dalam posisi ini, manusia adalah belum mempunyai
civic skill, kemauan untuk hidup bersama sesamanya dalam
suatu masyarakat. Dalam karya yang lain, Laws, ketika
makanan jarang maka manusia akan berusaha untuk
mencegahnya dan oleh sebab itu akan bersatu dengan manusia
yang lain. Sekali pun belum mengenal aturan formal, manusia
yang berkelompok itu berkembang menjadi kesatuan yang
lebih besar dan akhirnya menjadi sesuatu yang mendekati
sebuah negara nasional. Dengan simbol memenuhi kebutuhan
akan makanan tersebut, Plato mengisyaratkan bahwa
berdirinya suatu negara didorong oleh kesadaran manusia
untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Negara yang pada akhirnya terformasi itu bukanlah entitas
yang statis, melainkan dinamis yang perubahannya dikenal
dengan Siklus Plato. Maksudnya, pada awalnya negara
berformasi aristrokrasi. Jika para aristokrat itu mulai mengenal
ambisi duniawi, maka akan berubah menjadi tymokrasi. Jika
pembesar negara itu kemudian mulai bersekutu dengan orang-
orang kaya, maka akan memicu pemberontakan rakyat dan
kemudian melahirkan negara demokrasi. Akan tetapi,
demokrasi dapat lenyap jika tidak ada keamanan dan ketertiban
yang mendorong kelahiran diktator dalam negara tirani. Lama-
lama ada gerakan rakyat yang memberontak dipimpin para
cendekiawan, yang kemudian menggulingkan tirani, dan
negara kembali ke formasi aristrokrasi, demikian seterusnya.
Plato sendiri menyenangi pendidikan sebagai jalan untuk
menumbuhkan kesadaran kepada rakyat akan cara mengatasi
kesukaran-kesukaran yang ditemui. Oleh sebab itu, Plato
mensyaratkan agar negara dipimpin oleh filosof, karena mereka
lah yang dapat mendidik rakyat seperti itu.
Aristoteles
Karena merupakan murid Plato, maka jalan pikiran Aristoteles
(346-322 SM), sama dengan sang guru tersebut. Dalam
argumen Aristoteles, negara yang baik adalah negara yang
memberlakukan hukum-hukum yang baik. Negara baik dapat
ditemui jika hukum berdaulat di dalamnya. Jadi Aristoteles
sangat menyukai adanya penguasa yang memerintah
berdasarkan konstitusi dan memerintah dengan persetujuan
warga negaranya, bukan pemerintahan diktator.
Mengenai asal mula negara, Aristoteles memberikan
pendapat yang tidak berbeda jauh dengan Plato, yang meyakini
bahwa negara merupakan gabungan dari keluarga-keluarga
yang menjadi kelompok besar. Kemudian kelompok ini
bergabung kembali lalu menjadi desa, kemudian desa
memformasi negara.
Negara terbaik adalah yang berformasi Republik
Konstitusional dan pemerintahannya adalah pemerintahan yang
berdasarkan konstitusi, dengan ciri-ciri sebagai berikut:2
1. Pemerintahan untuk kepentingan umum;
2. Pemerintahan dijalankan menurut hukum; dan
3. Pemerintahan mendapatkan persetujuan dari warga
negaranya.
Menurut Aristoteles dalam buku yang berjudul
Nicomachean Ethics, keadilan dan kesetaraan tercapai dengan
pengaturan oleh hukum, dan hukum bertahan diantara
kenyataan adanya ketidakadilan, ketika pelaksanaan hukum
bersifat diskrimination dalam menentukan mana yang adil dan
mana yang tidak adil. Keadilan itu sendiri dapat bersifat
distributif maupun korektif. Keadilan distributif adalah
keadilan yang mencakup pembagian pendapatan, kekayaan,
dan aset-aset lain dalam masyarakat. Dalam alam pikiran
modern, keadilan yang ini lazimnya disebut “keadilan
legislatif” (legislative justice).3
Sementara itu, keadilan korektif tidak sama dengan keadilan
legislatif, tetapi ia merupakan suatu justice of the courts,
keadilan yang ditentukan oleh pengadilan. Keadilan korektif
memulihkan kembali hak-hak yang dilanggar, mengembalikan
kepada keseimbangan semula sebelum terjadinya pelanggaran.
Keadilan korektif dapat tercapai secara sukarela maupun
dengan paksaan. Keadilan dengan sukarela terjadi dalam
perbuatan seperti menjual, membeli, meminjam, menabung,
memadamkan api, dan sebagainya; sementara paksaan antara
lain melalui pemenjaraan, pembunuhan, dan perampokan
dengan kekerasan.
Dalam buku Nicomachean Ethics tersebut, Aristoteles juga
mengemukakan masalah kesetaraan, yang disebutnya
“memiliki pengertian tidak begitu jauh dari keadilan.” Hanya
saja kesetaraan tidak diberikan oleh hukum karena hukum tidak
bisa memberikannya atas semua kasus, khususnya melalui
keadilan korektif.5 Kesetaraan sendiri merupakan wujud nyata
dari keadilan.
B. Masa Romawi Kuno
Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Yunani yang besar
itu kemudian terpecah-pecah dan jatuh dalam kekuasaan
imperium Romawi. Oleh sebab itu, sedikit banyak kebudayaan
Yunani mempengaruhi Romawi, sekalipun ada sejumlah
perbedaan di antara keduanya.6
Setelah meninggalkan formasi kerajaan, Romawi kemudian
menjadi negara republik, tetapi dimaksudkan dengan formasi
ini tidaklah sama dengan pengertian di alam modern dewasa
ini, tetapi suatu formasi pemerintahan yang ditandai dengan
dominasi oleh sekelompok Aristokrat. Ada sebagian pejabat
publik yang dipilih dan mempunyai parlemen (Senate) yang
terdiri dari warga negara yang sudah dewasa. Komposisi Senat
meliputi para kepala keluarga, sehingga rekrutmen dilakukan
dari golongan kelas atas, dengan kewenangan terbatas di
bidang legislatif, akan tetapi dilekati juga fungsi sebagai
penuntut umum.
Pelaksanaan fungsi Senat jangan dibayangkan dengan kerja
parlemen modern yang penuh dengan perdebatan atau
pengajuan usul rancangan undang-undang lazimnya dewasa
ini, akan tetapi hanya menerima atau menolak usul-usul yang
diajukan oleh pemerintah, yang sebelumnya dipilih olehnya.
Pemerintah meliputi: (i) paretors yang bertanggung jawab
terhadap administrasi pengadilan; (ii) quaestors, yang
mengelola keuangan; dan (iii) aediles, yang menjalankan
fungsi kepolisian.7
Kalau bangsa Yunani menggunakan istilah polis untuk
mengabstrasikan alam pikiran mengenai negara, maka Romawi
menggunakan istilah civitas untuk menggambarkan hal yang
sama. Para pemikir kenegaraan yang terkenal pada masa ini
antara lain Lucretius (99-55 SM), Polybious (120-102 SM),
dan Cicero ( 106-43 SM).
Lucretius
Ahli kenegaraan ini mengikuti pola pikir Ephicurus, pemikir
Yunani murid dari Aristoteles yang memperkenalkan filsafat
individualisme. Menurut Locretius, manusia hidup tidak dalam
suatu masyarakat, akan tetapi mempertahankan diri dengan
ketersediaan pangan dan sandang yang ada di muka bumi.
Karena perasaan dengan kepentingan yang sama, manusia lalu
berkelompok untuk memformasi suatu komunitas yang lebih
besar melalui suatu perjanjian (foedera, treaty). Namun
komunitas ini mudah terpecah belah karena rebutan tambang
emas, yang memaksa pemikiran untuk membuat suatu aturan.
Oleh sebab itu, jika pada awalnya manusia dapat hidup
tanpa peraturan atau kebiasaan (custom), kemudian
memutuskan untuk menyusun peraturan dan menetapkan
undang-undang, dan memaksa orang-orang untuk bersedia
mematuhinya. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit
dijumpai orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum,
yang dengan tindakan-tindakannya menyebabkan terjadi
kekacuan dan ketidaktertiban kehidupan masyarakat.
Polybius
Pemikiran Polybius mengenai negara yang terkenal adalah
Siklus Polybius. Pada mulanya negara berformasi monarki
yang kekuasaan dilaksanakan oleh raja secara turun temurun.
Namun kemudian, raja itu bertindak sewenang-wenang dan
tidak memikirkan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah
berubah menjadi tirani yang dikendalikan oleh seorang
diktator.
Tirani mendapatkan tentangan dari cendekiawan dan
bangsawan yang menjatuhkan diktator, lalu pemerintahan
berubah formasi ke aristocrat. Dalam perkembangannya,
beberapa aristokrat tadi tidak lagi memikirkan kepentingan
rakyat sehingga formasi pemerintahan menjadi oligarki, yang
menyebabkan rakyat mendiri.
Dengan penderitaan rakyat itu, maka kemudian terjadi
pembangkangan sipil yang kemudian menempatkan rakyat
sebagai aktor utama pengambil keputusan kenegaraan dan
dalam hal ini pemerintahan berubah menjadi demokrasi, yang
antara lain memberikan kebebasan bertindak. Akibat
kebebasan yang tidak dikelola dengan baik, maka terjadi
kekacauan sehingga pemerintahan berubah menjad okhlokrasi.
Dalam keadaan kacau itu muncul orang kuat untuk
mengendalikan keadaan dan merubah formasi pemerintahan
menjadi monarki kembali.
Cicero
Dalam karya yang berjudul De republica, Cicero mengatakan
asal mula kehidupan bernegara tidaklah sama dengan jalan
berpikir Lucretius. Cicero mengatakan bahwa asal mula negara
adalah sebuah kota yang kemudian melalui sebuah kontrak
sosial, memformasi diri menjadi negara. Jadi, motivasi
pemformasian negara adalah dorongan rasional untuk
menciptakan ketertiban.
Dengan adanya kontrak sosial ini, Cicero meyakinkan
mengenai terhindarnya negara dari tirani. Bagaimana pun, kata
Cicero, tirani bertentangan dengan kepentingan negara itu
sendiri karena mengeskpresikan sosok manusia yang kejam.
C. Masa Abad Pertengahan
Masa Abad Pertengahan ini terbagi menjadi 2 periode yaitu
Masa Abad Pertengahan Awal (hingga tahun 1100 M) dan
Masa Abad Pertengahan Akhir (1100-1350 M). Masa ini
ditandai dengan lenyapnya berbagai gagasan kenegaraan masa
sebelumnya ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku
bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki abad
pertengahan. Masyarakat Abad Pertengahan ini dicirikan oleh
struktur sosial yang feodal, kehidupan sosial dan spritualnya
dikuasia oleh Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan
kehidupan politiknya ditandai oleh rebutan kekuasaan diantara
kaum bangsawan.9 Dengan demikian, masyarakat Abad
Pertengahan terbelenggu oleh kekuasaan feodal dan kekuasaan
pemimpin-pemimpin agama, sehingga tenggelam dalam apa
yang disebut masa kegelapan.
Dalam masa ini, ajaran Nasrani menunjukkan dominasinya
dengan menggeser pengaruh agama Yahudi dan kebudayaan
Romawi. Sekali pun tidak secara langsung mengendalikan
negara, akan tetapi ajaran Nasrani mempunyai kepedulian
terhadap persoalan negara dan kepentingan politik. Keadaan ini
menimbulkan dualisme antara gereja dengan negara. Dalam hal
ini, negara yang mempunyai otoritas politik dan hukum, tidak
seberapa kuat berhadap dengan gereja yang mempunyai
wibawa keagamaan dan spiritual dengan jangkauan kekuasaan
yang lebih luas. Kekuasaan negara dianggap turunan dari
kekuasaan Tuhan, sehingga negara terserap di bawah pengaruh
gereja. Demikian pula, kehidupan ilmu pengetahuan
dikendalikan oleh gereja. Pemikiran-pemikiran kritis ditentang
sepanjang bertentangan dengan doktrin yang diajarkan oleh
gereja.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul gerakan untuk
melakukan perubahan sosial dan kultural yang berintikan pada
pendekatan kemerdekaan akal dari berbagai batasan. Gerakan
itu berpusat pada 2 kejadian besar yaitu Renaissance dan
reformasi. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan
kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, yang
berupa gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di
Italia pada abad ke-14 dan mencapai puncaknya pada abad ke-
15 dan ke-16. Masa Renaissance adalah masa di mana orang
mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan dengan
kebebasan bertindak seluas-luasnya, sepanjang sesuai dengan
apa yang dipikirkan karena dasar dari ide ini adalah kebebasan
berpikir dan bertindak bagi manusia. Kejadian tersebut di
samping telah mengantarkan dunia pada kehidupan yang lebih
modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu,
pengetahuan dan teknologi, telah pula memberikan sisi buruk
seperti perbuatan amoral dan melakukan apa saja yang
diinginkan sepanjang dikehendaki oleh akal.10
Berkembangnya pengaruh kebudayaan Yunani Kuno yang
mendorong Renaissance disebabkan terjadinya Perang Salib,
suatu perang antara penganut agama Kristen dan Islam selama
lebih dari 2 abad (1096-1291) dalam memperebutkan kota
Yerusalem. Dorongan Perang Salib bagi Renaissance ini
muncul karena terjadinya kontak gagasan antara dua pihak
yang berperang.11 Seperti diketahui, bahwa pada Abad
Pertengahan peradaban Barat tenggelam dalam kegelapan,
sebaliknya, dunia Islam pada waktu itu justru berada pada
puncak kejayaan peradaban yang karena perhatiannya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga masa itu menjadi
“Peradaban Ilmu.”
Islam telah memberikan kontribusi besar kepada
kebudayaan Eropa dengan menerjemahkan warisan Parsi dan
Yunani yang kemudian disesuaikan dengan watak bangsa Arab
serta menyeberangkannya ke Eropa melalui Siria, Spanyol, dan
Sisilia, suatu arus penyeberangan yang menguasai alam pikiran
Eropa dalam Abad Pertengahan.12 Dipandang dari sudut
sejarah kebudayaan maka tugas menyeberangkan kebudayaan
ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya bagi penciptaan
ilmu pengetahuan yang asli, sebab tanpa migrasi budaya itu,
islam telah mengembangkan karya Aristoteles, Galenus,
Prolemaois, dan menyeberangkannya ke Barat, sehingga ilmu-
ilmu itu diwarisi oleh generasi Renaissance di Eropa.
Peristiwa lain adalah Reformasi, yaitu revolusi agama di
Eropa Barat pada abad ke-16 yang awalnya dimaksudkan untuk
perbaikan dalam geraja Katolik akan tetapi kemudian
berkembang menjadi asas-asas Protestanisme. Reformasi
dimulai ketika Martin Luther menempelkan 95 dalil di pintu
gereja Wittenberg (31 Oktober 1517) yang kemudian segera
memancing serangan kepada gereja. Berakhirnya Reformasi
ditandai dengan terjadinya perdamaian Westphalia (1648) yang
mengakhiri peperangan selama 30 tahun. Namun Protestanisme
yang lahir dari reformasi itu tidak hilang, melainkan tetap
menjadi kekuatan dasar di dunia Barat sampai sekarang.13
Para pemikir kenegaraan pada masa Abad Pertengahan
paruh pertama adalah:
1. Agustinus
2. Thomas Aquinas
3. Marsilius
4. Thomas Mores
Ciri-ciri pemikiran asal mula negara dalam masa ini adalah
sebagai berikut:
1. Kekuasaan negara diperoleh dari Tuhan dan negara sebagai
suatu organisasi bersedia untuk mematuhi segala perintah
Tuhan.
2. Konsepsi negara berdasarkan ajaran Tuhan (theocracy). Di
Eropa, berdasarkan ajaran Nasrani, mengakui dualisme
gereja dan negara. Hanya saja segala urusan spritual
merupakan bagian dari kekuasaan Tuhan yang
dilaksanakan oleh Paus, sedangkan ketertiban merupakan
urusan negara. Ajaran Protestan menolak konstruksi ini,
akan tetapi hanya mengakui satu kekuasaan yang melekat
pada negara, sekalipun mengakui bahwa sumber kedaulatan
adalah Tuhan.
3. Sistem pemerintahan adalah teokrasi tidak langsung,
maksudnya Pemerintah adalah wakil Tuhan yang
mengurusi kekuasaan negara.
4. Negara menggantungkan diri kepada masyarakat yang
beragama dan bertumpu pada satu keyakinan sehingga
segala sesuatu yang dianggap bid’ah akan dihukum dan
diasingkan.
5. Gereja merupakan pusat spritualiatas sedangkan negara
merupakan pusat kekuasaan; Hukum atau panduan
kehidupan di bawah lindungan raja, yang mana raja kebal
dan menduduki posisi yang terhormat.
6. Gereja mendidik kaum muda dan menolak kehadiran ilmu
pengetahuan.
7. Hukum publik dan privat tidak dibedakan, kedaulatan
wilayah digunakan untuk melindungi kepemilikan tanah,
dan bertumpu pada kekuatan keluarga bangsawan.
8. Sistem sosial kemasyarakatan bersifat feodal. Kekuasaan
negara terbagi-bagi, dari Tuhan kepada raja, dari raja
kepada bangsawan, lalu kepada kesatria, dan kepada kepala
wilayah (town). Hukum bersifat partikularistik.
9. Lembaga perwakilan terdiri dari bangsawan, yang mana
hukum negara ditentukan oleh para pendeta dan para
bangsawan.
10. Bangsawan besar dan kecil mempunyai kekuasaan untuk
meneruskan keturunannya, yang kekuasaanya jauh
berkembang seiring dengan melemahnya negara.
Sementara pada posisi lain kaum tani tidak menikmati
kebebasan yang berarti.
11. Negara pada masa ini menjalankan konsep Rechsstaat,
akan tetapi tidak ada pengelolaan badan pengadilan,
sehingga upaya menegakkan hak dilaksanakan oleh
masyarakat sendiri. Pemerintah dan birokrasi lemah dan
tidak berkembang.
12. Kesadaran spiritual rendah, dan jika ada, maka itu
dilaksanakan menurut insting dan tendensius, sehingga
kebiasaan merupakan sumber hukum yang utama.
Setelah Renaissance dan reformasi mulai muncul pemikiran
yang khas mengenai kenegaraan seperti nampak dalam karya-
karya:
1. Nicollo Machiaveli
2. Jean Bodin
3. Fransisco Suarez
4. Hugo Gratius
5. Thomas Hobbes
Nicollo Machiaveli (1469-1527)
Pemikiran mengenai negara dituangkan di dalam buku yang
berjudul Il Principle (Sang Penguasa). Menurut Machiaveli
negara merupakan puncak kesadaran tertinggi. Kesadaran itu
dicapai oleh kesadaran manusia itu sendiri dan tidak diberikan
oleh agama. Namun demikian ia menolak keberadaan negara
yang berdasarkan hukum seperti cita-cita pemikir Yunani dan
Romawi Kuno. Baginya, hukum publik tidak lebih merupakan
saran mencapai kesejahteraan dan juga memperbesar
kekuasaan negara. Negara amat ditentukan oleh bagaimana
politik kekuasaan dijalankan. Negara ada bukan karena alasan
moral atau hukum, tetapi karena kebutuhan politik. Politik dan
kekuasaan dijalankan oleh negarawan, tetapi tidak perlu
memperhatikan ajaran moral dan pertimbangan hukum. Cita-
cita untuk mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh harus
diabaikan.
Machiavelli memelopori tumbuhnya sistem politik yang
independen dari ajaran agama dan pemisahan antara hukum
dan politik. Dia mengajukan kebijakan negara yang tidak
bermoral dan tidak adil, yang menyumbang gagasan besar bagi
tumbuhnya politik yang korup pada setidaknya di 3 negara.
Machiavelli adalah penyokong intelektual untuk pemerintahan
yang tiran.
Abstrasi gagasan Machiavelli itu dikenal sebagai ragione di
statio atau dalih negara, yang kemudian ditafsirkan sebagai
politik “menghalalkan segala cara.” Ajaran ini sangat
mengejutkan bagi dunia yang baru beranjak dari Abad
Pertengahan yang didonomiasi oleh paham keagamaan.
Kendati dekat dengan kalangan Paus, Machiavelli telah
membahas kekuasaan dan politik secara sekuler.
Jean Bodin (1530-1598)
Bodin melihat negara merupakan hak pemerintah dengan
kekuasaan penuh. Basis negara adalah keluarga, kepemilikan
umum, dan kedaulatan. Bodin menyalalahkan gagasan
kenegaraan pada masa sebelumnya terlalu menekankan kepada
kesejahteraan. Dengan ajaran kedaulatannya, Bodin
memberikan kontribusi bagi berlangsungnya sistem monarki
absolut di Prancis. Bukan hanya di Prancis, gagasan Bodin juga
diterima di Inggris.
Bodin berpendapat bahwa negara adalah keseluruhan dari
keluarga dengan segala miliknya yang dipimpin oleh akal dari
seorang penguasa yang berdaulat. Para keluarga, yang menjadi
basis berdirinya negara, menyerahkan beberapa hal menjadi
urusan negara yang kemudian membuat kekuasaan negara
dibatasi tindakannya menurut moralitas hukum alam.
Raja sebagai pemimpin yang berkuasa disampiri oleh atribut
kedaulatan yang bersifat, pertama, tunggal. Ini berarti hanya
negara yang memiliki segalanya jadi di dalam negara itu tidak
ada kekuasaan lain yang membuat undang-undang atau hukum.
Kedua, asli, yang berarti kekuasaan itu tidak berasal dari
kekuasaan lain, bukan diberikan atau diturunkan dari
kekuasaan lain. Ketiga, abadi. Kekuasaan tertinggi ada pada
negara. Keempat, tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan itu tidak
dapat diserahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian
maupun seluruhnya.
Fransisco Suarez
Fransisco Suarez merupakan pemikir hukum dari Spanyol yang
beraliran Jesuit. Dalam karya yang berjudul De legibus ac Deo
legislatore (1612), dikatakan bahwa orang-orang bergabung
memformasi negara sebagai political body adalah “by their
deliberate will and common consent14.” Kemudian, dari
pemformasian negara itu, kekuasaan diserahkan kepada
seseorang sebagai raja atau kepada negara lain, dan kemudian
sang raja mewariskan kekuasaan turun temurun dengan syarat-
syarat yang sama pada saat ia menerima kekuasaan untuk
pertama kali dari masyarakat.
Dalam pandangan Suarez, tidak benar bahwa Tuhan yang
memberikan kekuasaan kepada raja, tetapi mungkin saja
memberikan wahyu seperti yang dialami oleh Sulaiman dan
Dawud, tetapi jelas itu bukan merupakan hukum. Dalam situasi
norma, masyarakat yang menentukan sebuah wewenang
pemerintahannya, dan kemudian atas kehendak Tuhan semua
itu dapat terlaksana.15
Hugo Gratius (1583-1645)
Gratius juga sering disebut sebagai Bapak Hukum
Internasional karena pemikirannya dianggap sebagai peletak
dasar teori hukum internasional, sebagaimana karyanya dalam
buku De Jure Bell ac Pacis, artinya “Hukum Perang dan
Damai.” Menurut Gratius, negara ada karena perjanjian
masyarakat, akan tetapi perjanjian itu tidaklah karena
mendapatkan ilham dari Tuhan, melainkan atas dasar rasio
manusia itu sendiri. Dia menghargai pemikiran individu
manusia. Oleh sebab itu, peradaban baru manusia itu tidak
karena terformasinya negara, melainkan karena keberadaan
para individu tersebut.
Pemisahan tajam antara gereja dengan politik negara dan
penghargaannya kepada kebebasan manusia merupakan prinsip
dasar dari gagasan penulis Belanda ini. Dia menyebut negara
sebagai kesatuan dari kebebasan manusia yang bergabung di
dalamny
.jpeg)
