Minggu, 14 Desember 2025

Ilmu negara 1



 Ilmu Negaraok




Ilmu negara merupakan ilmu yang tergolong ke dalam

kelompok ilmu-ilmu sosial yang mempelajari asal-usul, tujuan,

formasi, dan lenyapnya negara secara umum, abstrak, dan

universal. Penjelasan lebih lanjut dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Ilmu Negara “mempelajari negara secara umum”,

maksudnya pembahasan menggunakan dalil-dalil umum,

yaitu pengertian umum mengenai negara. Bila dikenakan

terhadap negara-negara yang ada di dunia  ini, maka

umumnya dalil tadi disepakati sebagai kenyataan yang

berlaku.

2|Pendahuluan

2. Ilmu Negara “mempelajari negara secara abstrak”,

maksudnya dalam uraiannya mengemukakan negara

sebagai suatu nilai. Dalam hal ini, yang diamati bukanlah

suatu negara saja, akan tetapi negara pada umumnya.

Dengan demikian, Ilmu Negara dibedakan dengan Ilmu

Tata Negara atau Administrasi Negara dan Ilmu

Pemerintahan. Ketiga ilmu ini mempelajari suatu negara

dalam keadaan yang nyata, misalnya tata negara Indonesia,

administrasi negara Indonesia, dan pemerintahan Indonesia.

3. Ilmu Negara “mempelajari negara secara universal”,

maksudnya nilai-nilai yang terdapat dan berlaku di mana.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa ilmu negara

merupakan ilmu pengetahuan. Maksud dari ilmu pengetahuan

di sini adalah hasil pemikiran manusia yang objektif dan

disusun secara sistematis. Suatu ilmu pengetahuan mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut:

1) Bersifat objektif, maksudnya ilmu pengetahuan juga harus

dapat mengejar kebenaran yang dapat diterima secara

umum;

2) Bersifat sistematis, maksudnya pengertian-pengertian yang

diperolehnya tidak boleh bercerai-berai melainkan

merupakan satu kesatuan yang erat dan utuh.

B. Sistematika Ilmu Negara

Seorang sarjana bernama George Jellinek, dalam bukunya yang

berjudul Algemeine Staatslehre mengungkapkan Ilmu Negara

mempunyai sistematika sebagai berikut:

1. Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan dalam arti yang

sempit (Staatswissenschaft), yang menyelidiki negara dalam

keadaan abstrak dan umum.


2. Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan dalam arti luas

(Rechtswissenschaft), yang terbagi ke dalam 2 kategori

yaitu:

(a) Ilmu pengetahuan yang yang menyelidiki negara

tertentu, misalnya mempelajari lembaga negara,

peradilan, dan sebagainya (Individuelle Staaslehre); dan

(b) Ilmu pengetahuan yang penyelidikannya ditujukan

kepada negara dalam pengertian umum serta lembaga-

lembaga perwakilan yang dipelajari secara khusus

(Pezielle Staaslehre).

George Jellinek, merupakan sosok yang pertama sekali

merumuskan Ilmu Negara sebagai suatu ilmu pengetahuan

yang berdiri sendiri. Karena itu, ia kerap kali diberi julukan

“Bapak Ilmu Negara.” Hal ini menimbulkan pertanyaan, yaitu

apakah sebelum sistematisasi oleh George Jellinek itu Ilmu

Negara telah dipelajari sebagai ilmu pengetahuan?  Dalam hal

ini masih menimbulkan spekulasi, sebab pada waktu

sebelumnya, Ilmu Negara belum merupakan suatu ilmu

pengetahuan yang mandiri dan sifatnya masih deskriptif atau

mencakup segala pengetahuan yang berhubungan dengan

negara. Persoalan seperti agama, politik, kebudayaan, moral,

dan ekonomi yang berhubungan dengan negara dimasukkan ke

dalam pembicaraan Ilmu Negara.

Hal tersebut dapat diketahui dari karya Plato dan Aristoteles

pada masa Yunani Kuno dalam buku yang berjudul Politeia

dan Politica yang membicarakan persoalan-persoalan negara di

dalamnya. Pada masa itu, objek yang diamati dan dipelajari

adalah negara kota (city state) yang dikenal dengan istilah polis

dengan wilayah yang tidak seberapa luas dan jumlah penduduk

4|Pendahuluan

yang tidak banyak. Sehingga tidak mengherankan jika semua

ihwal persoalan yang berhubungan dengan negara dapat

disusun dan dituangkan dalam suatu karya yang membahas

mengenai negara. Tetapi kondisi itu dalam perkembangan

waktu tidak dapat dipertahankan lagi dengan kemunculan

negara bangsa (nation state) dengan batas-batas kedaulatan

yang semakin lama semakin luas dengan jangkauan wilayah

dan penduduk yang lebih besar lagi. Akibat kondisi ini, maka

dibutukan pelajaran mengenai negara yang perlu

disistematisasi dalam ilmu pengetahuan yang mandiri.1

Mengenai pembelajaran di Indonesia, Ilmu Negara

diperkenalkan oleh Universitas Gadjah Mada, saat merintis

sebagai perguruan tinggi swasta (1946). Pada saat menyusun

materi pelajaran untuk Fakultas Hukum, Universitas Gadjah

Mada membandingkan dengan Rechstsschool di Jakarta pada

masa Hindia Belanda. Akan tetapi struktur kurikulum ternyata

dianggap tidak sesuai dengan kenyataan alam kemerdekaan

dan kemudian dicarikan pembanding di Universitas Leiden,

Belanda. Sehubungan dengan itu, kuliah awal Ilmu Negara

diberi titel Staasleer yang mencakup hal-hal pokok mengenai

sendi-sendi negara dan lepas dari kenyataan kolonial.2 Dalam

perkembangannya, ada juga yang menggunakan istilah Teori

Negara, terutama dalam kajian Ilmu Politik, untuk


mensistematisasikan objek penyelidikan mengenai negara

tersebut.3

C. Keterkaitan Ilmu Negara dengan Ilmu Lain

Ilmu Negara telah lama diajarkan, namun baru pada permulaan

abad ke-20 disusun sebagai suatu ilmu pengetahuan secara

sistematis oleh George Jellinek. Dengan adanya perkembangan

situasi masyarakat seperti yang diajarkan oleh Herbert

Spencer4 , maka dibutuhkan cabang-cabang ilm pengetahuan

yang mengadakan penyelidikan khusus mengenai bidang-

bidang tertentu. Dengan adanya kenyataan itu maka Ilmu

Negara kemudian mempunyai relasi dengan cabang-cabang

ilmu pengetahuan yang lain, yang antara lain dengan ilmu

Hukum Tata Negara, Ilmu Hukum Administrasi Negara, Ilmu

Politik, dan Ilmu Ekonomi.

1. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum Tata

Negara

Telah dikemukakan bahwa Ilmu Negara mempunyai objek

penyelidikan bersifat umum mengenai pertumbuhan, wujud,

formasi, dan lenyapnya negara atau dapat pula mengenai

negara tertentu. Inilah kesamaan Ilmu Negara dengan Ilmu

Hukum Tata Negara, yaitu sama-sama mempunyai objek

penyelidikan berupa negara. Akan tetapi, dalam Ilmu Hukum

Tata Negara, objek penyelidikan itu lebih konkrit, karena

3 Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka

Utama.

4 Lihat dalam: Syaiful Bahri, 2010, Ilmu Negara dalam Konteks Negara

Hukum Modern, Jakarta, Penerbit Total Media, hlm. 13.

6|Pendahuluan

terikat dengan waktu, tempat, keadaan, dan tata pengaturan

tertentu, misalnya Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum Tata

Negara Amerika Serikat, dan sebagainya.5 Bahkan, ada yang

mengatakan dengan tegas bahwa Ilmu Hukum Tata Negara

adalah hukum mengenai organisasi negara. 6 Oleh sebab itu,

rincian pembahasan dalam Ilmu Hukum Tata Negara dikaitkan

dengan organ-organ negara, hubungan antarorgan negara,

kewaganegaraan, keabsahan undang-undang, dan sebagainya.

Dengan demikian, keterikatan antara kedua cabang ilmu

pengetahuan itu adalah kesamaan dalam objek akan tetapi

persoalan-persoalan yang dibahas berlainan. Sudah barang

tentu, untuk mempelajari Ilmu Hukum Tata Negara harus

mempunyai bekal  yang cukup mengenai pokok-

pokok hal yang berkaitan dengan sendi-sendi negara yang

semuanya terdapat dalam Ilmu Negara.

2. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum

Adminsitrasi Negara

Secara umum, hukum adminsitrasi didefinisikan sebagai

hukum yang mengatur hubungan antara organ administrasi

dengan warga masyarakat.7 Bidang-bidang yang menjadi fokus

pembahasan adalah perizinan, pegawai negeri, pajak,

pendaftaran yang menciptakan hak, dan sebagainya. Dengan

demikian, yang dipelajari Ilmu Hukum Administrasi Negara

sama dengan Ilmu Negara yaitu negara. Hanya perbedaannya,

apabila Ilmu Negara menyelidiki sendi-sendi pokok negara

secara umum dan abstrak. Sebaliknya, Ilmu Hukum

Administrasi Negara justru mengkaji “negara dalam keadaan

bergerak”, yaitu hubungan antara (organ) negara dengan

masyarakat.” Oleh sebab itu, Ilmu Negara menjadi dasar dalam

mempelajari Ilmu Hukum Administrasi Negara, karena untuk

mempelajari ilmu terakhir itu membutuhkan juga pengertian-

pengertian pokok yang berkaitan dengan negara.

3. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik

Ilmu Politik (dis Staswissenschaft, Political Science) adalah

cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai

persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara.8 Objek

kajiannya adalah mengenai syarat-syarat berdirinya negara

(Grundlagen), hakikat negara (Wesen), formasi-formasi negara

(Erscheinungsformen), dan perkembangan negara. Walaupun

demikian, tidak semua hal yang bersinggungan dengan negara

dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan dapat

dikategorikan sebagai Ilmu Politik, tetapi bagi politik ini

merupakan unsur penunjang dalam kajian. Misalnya:

a) Sejarah, khususnya yang menyangkut manusia atau negara,

bukan merupakan disiplin Ilmu Politik, kecuali

menyangkut sejarah ketatanegaraan atau konstitusi.

Perilaku kehidupan masyarakat, tindakan individu, sejarah

kesusasteraan, ilmu pengetahuan, kondisi ekonomi, moral,

militer, perjuangan diplomatik; misalnya, semua ini tidak

dikategorikan ke dalam bagian dari Ilmu Politik.

b) Statistik, yang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan,

tidak merupakan bagian dari Ilmu Politik.

c) Politik ekonomi, sepanjang menyangkut hukum ekonomi

yang diterapkan bagi perseorangan, maka tidak

berhubungan dengan negara, sehingga bukan bagian dari

Ilmu Politik.

d) Studi kemasyarakatan, khususnya yang menyangkut

identitas yang tidak berhubungan dengan negara.

Dalam tradisi Yunani, ilmu politik disebut dengan istilah

politiki. Di Jerman dikembangkan kajian Hukum Publik

(Stasrecht) dan Politik (Politics) sebagai dua cabang ilmu

pengetahuan yang berbeda. Belakangan berkembang

diferensiasi lain seperti Statistik Politik, Administrasi,

Hubungan Internasional, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, terutama dalam praktik

pembelajaran, terdapat perbedaan antara objek kajian Ilmu

Politik di Eropa (khususnya Inggris dan Prancis) dengan di

Amerika Serikat. Pada pembelajaran di Eropa, mereka

mengambil akar materi pada masa Yunani Kuno, sehingga

karakter materinya bersifat konservatif dan normatif.

Sedangkan di Amerika Serikat, Ilmu Politik sudah mempunyai

pengertian yang lebih khusus yaitu mengenai gejalan-gejala

tertentu yang berhubungan dengan negara lain.

Sementara itu, di Indonesia, Ilmu Politik sampai dasawarsa

60-an, masih diajarkan oleh sarjana hukum, sehingga sifat

pengkajiannya analitis dan bersifat normatif. Baru kemudian

dengan rintisan Miriam Budiardjo dan pelembagaan dalam

fakultas yang berdiri sendiri, maka Ilmu Politik mulai

memapankan objek kajian yang mempunyai karakteristik yang

lebih khas dibandingkan objek kajian Ilmu Negara di Fakultas


Hukum. Walaupun metode dan pelembagaan gagasan kajian

berbeda-beda di satu negara dengan negara lain, akan tetapi

secara umum dapat dikatakan bahwa objek kajian Ilmu Politik

adalah mengenai negara. Di sinilah keterikatannya dengan Ilmu

Negara. Dalam hal ini, Ilmu Negara memberikan pemahaman

dasar mengenai hal-hal pokok mengenai negara, sedangkan

kajian aspek-aspek tertentu mengenai negara secara empiris

dilakukan oleh Ilmu Politik. Pada pertumbuhan berikutnya,

objek kajian Ilmu Politik itu menjadi ketentuan-ketentuan yang

berlaku di suatu negara tertentu, sehingga pada

perkembangannya akan dikaji oleh Ilmu Hukum Tata Negara.

4. Hubungan Ilmu Negara dengan llmu Ekonomi

Persoalan  peranan  negara  atau  pemerintah  di  bidang

perekonomian  sudah sejak  lama  menimbulkan  perdebatan

ideologis  antara empa aliran  utama mazab ekonomi dunia,

yaitu (i) laissez faire, (ii) sosialisme, (iii) liberalisme modern,

dan (iv) konservatisme modern. Namun, pertanyaan mendasar

yang dipersoalkan adalah peranan  seperti apa yang  dimainkan

dalam  hal  kepemilikan  dan  pengelolaan  pemerintah  di

bidang ekonomi.

Menurut teori kedaulatan negara oleh Jean Bodin dan George  Jelinek:

Kekuasaan  tertinggi  ada  pada  negara  dan  negara  mengatur  kehidupan

anggota masyarakatnya.  Negara  yang  berdaulat  melindungi  anggota

masyarakatnya  terutama  anggota  masyarakat  yang  lemahî. Dalam  hal

ini,  ìteori  kedaulatan  negara  akan  berfungsi  apabila  didukung oleh  teori

pengayoman  dan  teori perlindunganî.

10|Pendahuluan

(1) Aliran Laissez Faire

Beberapa  ahli ekonomi  berpandangan  bahwa laissez  faire

sama  dengan kapitalisme.  Padahal  kapitalisme  itu  sendiri

bukanlah  ideologi  politik,  melainkan suatu  sistem  ekonomi

yang  didominasi  pihak  swasta  terutama  dalam  hal  cara-

cara berproduksi, pendistribusian hasil-hasil produksi, serta

pertukaran barang dan jasa.10 Di  belahan  dunia  barat, laissez

faire adalah  ideologi  politik  yang  sepenuhnya bersandar

pada  kapitalisme, yang  dalam  perkembangannya mereka

selalu  berusaha agar kapitalisme itu sendiri menjadi sebuah

sistem ekonomi.

Paham laissez faire lahir di Perancis  semasa  pemerintahan

Raja Louis XIV,  dan  istilah laissez  faire pertama kali

muncul  dalam  pertemuan  khusus  dengan  Menteri

Keuangan  Perancis  Jean Baptiste  (1619-1683)  yang

diprakarsai  oleh  pemerintah.  Ketika Menteri  Keuangan

menanyakan  apa  yang  dapat  dibantu  oleh  pemerintah

untuk  kepentingan  para saudagar,  salah  seorang  di  antara

mereka menjawab: laissez  faire (leave  us  alone: “biarkan

kami berusaha  sendiri”). Sejak  itu laissez  faire diakui

sebagai  ideologi  yangmenghendaki  campur  tangan

pemerintah  sekecil  mungkin  di  bidang  ekonomi.

Dengan  demikian  jelas bahwa  kapitalisme  adalah

tangan-tangan  politik  yang bekerja  untuk  kepentingan

laissez  faire dalam  mengelola  berbagai  kebijakan

pemerintah di bidang ekonomi dan bisnis. Dalam

10 Menurut Austin Ranney, capitalisme adalah  ìan economic  system  in

which  the means of production,  distribution  dan  exchange  are  privately

owned  and  operated. Ibid., hlm. 81.

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. |11

perkembangan selanjutnya laissez faire dipahami sebagai

aplikasi dari semua  urusan  ekonomi  yang  bersandar  kepada

doktrin  Presiden  Amerika  Thomas Jefferson, “that

government  is  best  which  governs  least” (pemerintah  yang

baik adalah  yang  memerintah  atau  mengatur  sedikit).11

(2) Aliran Liberalisme Modern

Paham kapitalisme klasik kemudian mendapatkan kritik dan

sorotan tajam. Sekelompok pemikir mulai mempertanyakan

sistem ekonomi liberalisme  klasik  yang  dipandang  lebih

cenderung menekankan  pengertian  bebas dari (freedom  from)

campur  tangan negara atau pemerintah dalam urusan ekonomi.

Kecenderungan  ini  kemudian  disebut  sebagai negative

freedom (kebebasan  yang bersifat  negatif)  karena

penekanan  terhadap freedom  from tersebut  justru memakan

kebebasan  itu  sendiri.  Sebaliknya  yang  diperlukan  adalah

sistem ekonomi yang menekankan freedom  to (bebas untuk)

dalam konteks peran negara atau  pemerintah  di  seluruh

bidang  perekonomian.  Dalam  perkembangannya kemudian

freedom  to dikenal  sebagai positive  freedom (kebebasan

yang  bersifat positif),  yang  mendorong  pemerintah  untuk

secara  serius  dan  riil  memberikan jaminan kebebasan hidup

bagi semua lapisan masyarakat.

Ideologi (positive freedom) yang  dicetuskan  oleh  Thomas

Green  pada  tahun  1880-an  ini  selanjutnya  dikenal sebagai

liberalisme  modern.  Jadi  jelas  bahwa  penganut  “liberalisme

klasik” mendesak  pemerintah  keluar  dari  pasar,  sebaliknya

“liberalisme  modern” memasukkan  kembali  pemerintah  ke

dalam  pasar  agar  setiap  orang  mendapat perlindungan dari

sistem ekonomi  liberalisme klasik yang adakalanya  tidak adil

itu.

Untuk melindungi hak-hak  setiap orang dalam  sistem

ekonomi,  liberalisme modern mempromosikan  ketentuan

tentang  upah  dan  jam  kerja,  hak  berserikat  dan

berorganisasi,  asuransi  pengangguran  dan  kesehatan,  serta

memberikan  kesempatan bagi  semua  orang  untuk

meningkatkan  keterampilan  bekerja  melalui  pendidikan.

Liberalisme  semacam  ini  dikembangkan  oleh Woodrow

Wilson dan  Franklin D. Roosevelt  di Amerika  Serikat  pada

abad  ke-20,  dengan  tujuan  pokok  untuk mencapai a  free

society (masyarakat yang bebas).12

Franklin D. Roosevelt  dan  kolega-kolega New Deal-nya

berpendapat  bahwa liberalisme  sejati  haruslah  menjadi

ìliberalisme  yang  positif.  Artinya,  jaminan kebebasan  yang

diberikan oleh negara kepada  rakyat untuk berbicara dan

memeluk agama  masing-masing  tidak  akan  memberikan  arti

yang  positif  apabila  anggota masyarakat  itu  sendiri  tidak

bisa:  (i)  menghidupi  keluarganya;  (ii)  mendapatkan

pendidikan  yang  baik;  dan  (iii)  mendapatkan  jaminan

kesehatan  yang  cukup memadai.13

Mereka  sependapat  bahwa  proteksi  semacam  itu  harus

diberikan  dan dijamin  oleh  negara  sepenuhnya  sehingga

mengarah  kepada welfare  state (negara kesejahteraan),


sebagai  suatu  sistem  di  mana  pemerintah  menjamin

prasyarat kehidupan  minimum  warganya  secara  layak

mencakup  keadilan  mendasar  seperti pendidikan, kesehatan,

pekerjaan dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Kendati standar

persyaratan  minimum  bagi  setiap  individu  pada  dasarnya

tidak  sama,  penganut  liberalisme modern pada umumnya

menerima premis bahwa negara harus memiliki  tanggung

jawab  sosial-ekonomi  atas  warga  negaranya. Sebaliknya

kaum liberalis modern mengembangkan tradisi kebebasan

individu dan pilihan bebas dalam hal  urusan  non-ekonomi.

Dengan  kata  lain,  para  penganut  paham  ini  menjaga

intervensi  atau  campur  tangan  negara  atau  pemerintah  di

bidang moral,  agama, dan intelektual  harus  seminimal

mungkin.  Untuk  itu,  pemerintah  harus  memisahkan secara

tegas fungsi gereja dan negara.

(3) Aliran Konservatif Modern

Aliran konservatisme mempunyai pandangan yang berbeda.

Aliran konservatisme pada dasarnya berurusan dengan upaya

pelestarian nilai-nilai dan  institusi  tradisional. Persoalan pelik

yang mereka hadapi  adalah berbagai perubahan radikal  yang

didorong  oleh  kaum  liberal  klasik  pada  abad  ke-19.

Penganut  aliran konservatisme berkeyakinan bahwa

masyarakat harus tetap berjalan sebagaimana adanya. Akan

tetapi, pemegang  kekuasaan  adalah  kaum  bangsawan,

bukan  kelompok-kelompok bisnis  yang  baru muncul.

Setiap majikan  harus  dapat menjamin  kehidupan  sosial

para buruh pabrik dan petani,  serta kehidupan moral yang

dituntun oleh nilai-nilai  tradisi dan agama. Hal  ini didasari

pemikiran bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat

14|Pendahuluan

yang hidup dengan tradisi kemasyarakatan dan keagamaan.

Untuk itu setiap anggota masyarakat harus  dapat memahami

posisi dan  peran  masing-masing  dalam  hierarki  sosial,

dengan asumsi bahwa  setiap  individu  telah memahami hak

dan kewajiban masing-masing,  serta berhak untuk turut serta

menikmati keuntungan yang diperoleh masyarakat.14

Di  Amerika  Serikat,  gagasan  yang  dikemukakan  Milton

Friedman, yaitu bahwa  pasar bebas masih  tetap merupakan

jalan  terbaik dan kebenaran akan doktrin Adam Smith  (“di

manapun  pemerintah  melakukan  campur  tangan  akan

mengacaukan banyak hal sehingga menimbulkan masalah”),

tidak sedikit kaum konservatisme yang meyakini  dan

mengikutinya.  Lebih  lanjut Milton  Friedman mengemukakan

bahwa pilihan  individual  akan  memberikan  eksistensi  moral

yang  lebih  baik  ketimbang dipilihkan  oleh  pemerintah,  dan

bersama  Friedrich von Hayek memiliki  pandangan yang

sama bahwa pemerintah seharusnya mengatur usaha swasta

seminimal mungkin atau  tidak  sama  sekali.

Di bidang kegiatan  ekonomi, pemerintah harus menegaskan

aturan-aturan  dasar  persaingan  bebas  dengan memperkuat

kontrak  dan  melindungi hak milik  pribadi. Dalam  hal  ini,

pemerintah  tidak  boleh membatasi  keuntungan  si pemenang

dan  tidak  boleh  pula  mengatasi  kerugian  pihak  yang

kalah.  Menurut pandangan  kaum  konservatif  modern,

pengusaha  yang  kreatif  akan  berkembang seiring dengan

tumbuhnya pasar serta munculnya produk-produk baru yang

menarik dan  bisa  mencetak  uang.

Harapan  mereka  adalah  setiap  pengusaha  diperbolehkan

berusaha  secara  bebas  sehingga  bisnis  lama  dapat

berkembang dan  sekaligus membangun  bisnis  baru  yang

pada  gilirannya  akan  membuka  dan  menciptakan lapangan

kerja baru serta membawa kemakmuran bagi banyak orang.

Sebaliknya jika para pengusaha dihambat oleh berbagai

ketentuan  yang dibuat oleh pemerintah dan dibebani pula

dengan pajak yang tinggi akan mengakibatkan penurunan

investasi dan produksi  secara drastis dan  lapangan kerja

semakin  terbatas. Dengan demikian  jelas bahwa  kaum

konservatif  modern  tetap  menghendaki  agar  pemerintah

tidak membebani pelaku usaha dengan berbagai macam

peraturan yang memberatkan, dan mereka mempertimbangkan

intervensi  pemerintah  di  bidang  intelektual, moral, dan

agama.15

(4) Aliran Sosialisme

Pandangan kaum  sosialis  tentang kebebasan dan persaingan

berbeda dengan aliran  lainnya.  Karena  kebebasan  dan

persaingan  tersebut  sangat  erat  kaitannya dengan  struktur

sosial  secara  keseluruhan,  maka  kebebasan  dan  persaingan

dalam suatu  susunan  masyarakat  yang  tidak  adil  akan

mengukuhkan  ketidakadilan itu sendiri.  Oleh  sebab  itu,

negara  atau  pemerintah  tidak  bisa  tidak  harus  mengambil

peran  tertentu  secara  lebih  aktif  agar  pihak-pihak  yang

lemah  dapat  dilindungi  dari pihak-pihak yang kuat karena

mereka memiliki kekuasaan. Secara moral dan politik, campur

tangan pemerintah di bidang ekonomi dapat dibenarkan dan


bersifat mutlak agar  keadilan  dan  kesejahteraan  bersama

dapat  diwujudkan  bagi  semua  anggota masyarakat.16

Aliran  sosialis  (sosialisme)  adalah  sistem  ekonomi dan

sekaligus  sebagai ideologi  politik.  Sebagai  sistem  ekonomi,

sosialisme merupakan  lawan  dari  sistem ekonomi kapitalis.

Secara sederhana sosialisme dapat dipahami sebagai suatu

sistem ekonomi  dengan  cara  produksi,  distribusi, serta

pertukaran  barang  dan  jasa  dimiliki dan  dioperasikan  oleh

publik. Menurut  paham  kaum  sosialis,  negara  adalah  suatu

organisasi  yang  paling  representatif,  sehingga  konsepsi

“dimiliki  dan  dioperasikan oleh  publik”  artinya kuasa

kepemilikan dan  operasionalisasi  berada  di  tangan

pemerintah  atau  negara.

Sosialisme  sebagai  ideologi  politik,  dan  dalam  kaitannya

dengan kontrol di bidang ekonomi, penganut paham ini

meyakini bahwa negara perlu mengembangkan  perencanaan

ekonomi  dan  pengendalian  pasar.  Hal  itu  perlu dilakukan

untuk mencegah  terjadinya  eksploitasi  sekelompok  orang

atas  kelompok lain,  dan  selain  itu  untuk  menjamin

berlangsungnya  distribusi  keadilan  dan kesejahteraan bagi

setiap orang.17

Dalam perekonomian modern yang sudah sedemikian

kompleks sekarang ini, campur  tangan  pemerintah  terhadap

kegiatan  ekonomi merupakan sesuatu  hal  yang mutlak. Tugas

pemerintah atau para birokrat tidak lagi hanya mengurusi

bidang sosial dan politik, tetapi juga mengurusi masalah-

masalah perekonomian. Sulit dibayangkan bagaimana  jadinya

sistem dan mekanisme perekonomian modern tanpa adanya

peranan pemerintah. Banyak ahli ekonomi berpandangan sama

bahwa negara atau birokrasi adalah entitas kelembagaan yang

paling dominan dan sangat berpengaruh dalam kehidupan

ekonomi suatu negara, karena di tangan negara lah tergenggam

kewenangan politik dan sumber-sumber daya ekonomi yang

sangat besar.

Campur tangan negara  atau pemerintah  ini  semakin

dirasakan urgen bila  sudah menyangkut keadilan. Untuk itu

pemerintah diminta bertindak tegas dan bijaksana dalam

membuat peraturan  yang  pada  akhirnya  untuk  melindungi

masyarakat  banyak.  Dengan  kata lain, dunia bisnis  tidak

pernah bebas dari rambu-rambu aturan hukum. Namun perlu

dicatat  bahwa  dunia  bisnis  tidak  bisa  diikat  atau

dibelenggu  dengan  peraturan perundang-undangan  yang

rumit  karena  pada  gilirannya  akan  mematikan  kegiatan

bisnis itu sendiri.18

Ketika pemerintah menerapkan  suatu kebijakan  dan

kebijakan tersebut  tidak berjalan  efektif  di  dalam

masyarakat,  sering kali  pemerintah  menuduh  masyarakat

telah  melakukan  kesalahan  karena  masyarakat  tidak  dapat

mengikuti  dan  tidak memberikan  respon  yang  positif

terhadap  kebijakan  tersebut. Tuduhan  pemerintah seperti ini

bisa terjadi karena dua hal mendasar: (i) pemerintah melihat

kebijakannya tersebut hanya dari sudut pandangnya sendiri;

dan (ii) pemerintah belum sepenuhnya mengakomodir


keinginan  dan  kepentingan  individu,  berbagai  kelompok

dan organisasi sosial dalam masyarakat yang lebih luas.19

Pada  dasarnya  kebijakan  ekonomi  merupakan  keputusan

politik  karena kebijakan  ekonomi  mempengaruhi  distribusi

kekayaan  dan  pendapatan  dalam masyarakat. Golongan  yang

memerintah  akan menentukan  kebijakan  ekonomi  dan akan

mengambil  keputusan  dari  berbagai  alternatif  yang  tersedia

dalam  pemecahan masalah-masalah  ekonomi.  Oleh  karena

itu,  siapa  yang  memerintah  sangat lah menentukan  pilahan

kebijakan  ekonomi, sedangkan  penentuan  siapa  yang

memerintah merupakan produk politik.20 Menurut  Didik  J.

Rachbini,  bahwa  inti  dari  desain  besar  suatu  kebijakan

ekonomi bermuara kepada dua pilar  yaitu bobot  institusi

negara dan bobot  institusi pasar. Kesalahan dalam meramu

keduanya akan menimbulkan kerancuan atau bahkan kesalahan

dalam desain besar sistem ekonomi-politik. Misalnya, jika

sistem ekonomi terlalu  liberal  dengan menyerahkan

segalanya  kepada mekanisme  pasar  dan  hukum persaingan,

maka  tujuan untuk  mensejahterakan  rakyat  banyak  tidak

akan  pernah terwujud selamanya.


PERKEMBANGAN

TEORI NEGARA


Sejak akhir abad ke-19, di mana kajian ilmu negara telah mulai

memiliki ruang lingkup, fokus, dan kerangka keilmuan yang

jelas,1 negara telah menjadi objek kajian utama, di samping

konstitusi, sejarah negara atau bangsa, dan

pemerintahan.2Dalam perkembangan sebagaimana ditunjukkan

oleh Nordlinger, disebabkan bahwa negara makin menjadi

“badan” yang memiliki otoritas tertinggi dalam semua formasi

masyarakat, maka negara menjadi penting sebagai unit


analisis.3 Dalam posisi seperti ini, maka negara menjadi

kekuatan politik penentu dinamika sosial-politik sebuah

masyarakat dan negara-bangsa.

Pemikiran-pemikiran mengenai negara dalam pengertian

yang umum, sering kali hasil dari spekulasi. Usaha untuk

melakukan deduksi dengan berlandaskan konsekuensi logika

tertentu, masih berdasarkan uraian yang spekulatif. Dengan

demikian, dalam dunia akademik muncul kategorisasi

pemikiran-pemikiran mengenai negara yang beragam,

tergantung kepada sudut pandang yang dipakai dari variabel-

variabel yang dijadikan tolok ukur kategorisasi. Begitu pula

perbedaan pemakaian variabel akan menghasilkan juga

kategorisasi yang tidak sama.4

Ditinjau dari variabel waktu perkembangan pemikiran

negara secara umum (yang dalam materi ini adalah

dikaterogikan pada pra-Perang Dunia II dan pasca-Perang

Dunia II) dan akar ideologis dari pemikiran tersebut (yang

merujuk kepada pemilihan akar ideologi liberal dan marxis)5,

maka dalam literatur dijumpai minimal 8 teori negara yaitu:

1. Teori Negara Korporatis;

2. Teori Negara Strukturalis;

3 Eric A. Nordlinger, “Taking State Seriously”, dalam Myron Weiner

dan Samuel P. Huntington (Editors), 1987, 

3. Teori Negara Formal;

4. Teori Negara Kapitalis Klasik;

5. Teori Negara Marxis Klasik;

6. Teori Negara Bonapartis;

7. Teori Negara Pluralis;

8. Teori Negara Organis.

B. Teori Negara Formal

Teori ini melihat negara sebagai sebuah lembaga formal

dengan sudut pandang normatif dan yuridis.6 Negara dikaji

dengan memperhatikan konstitusi dan aturan-aturan yang ada

di dalamnya serta struktur-struktur kelembagaan yang terpola

secara formal. Negara lebih dipandang sebagai sebuah struktur

status daripada tempat perumusan berbagai proses politik dan

dinamika masyarakat.

Negara hanya dipandang sebagai perwujudan dari

seperangkat aturan-aturan normatif, atau negara dilihat dari

segi kesejarahannya secara deskriptif. Pendeknya, negara dikaji

dari sudut das sollen, apa yang seharusnya dilakukan oleh

negara; dan tidak dari sudut das sein, apa yang dilakukan

negara dalam kenyataan.

Fungsi utama negara dipandang hanya sebagai penjaga

keamanan dan ketertiban sekaligus sebagai media artikulasi

aspirasi masyarakat menurut kontrak sosial telah dibuat oleh

masyarakat dan negara. Teori negara formal ini dapat

dipandang sebagai bagian dari Pendekatan Tradisional,7 atau

Pendekatan Kelembagaan,8 atau Pendekatan Formal9 dalam

kajian ilmu politik.

Negara yang menganut paham berdasarkan hukum pada

abad ke-17 dan paham ajaran negara berkonstitusi pada abad

ke-19 pada umumnya menganut teori ini. Negara dengan tipe

ini, lembaga pemerintah atau eksekutif hanya bertugas

menjalankan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.

Produk hukum yang dihasilkan pada abad ke-17 hingga abad

ke-19 banyak yang tidak memihak rakyat  karena lembaga diisi

oleh oleh orang-orang dan kelompok orang yang mempunyai

status ekonomi lebih mapan. Kelompok sosial ekonomi

tersebut membeli suara rakyat dalam pemilu. Kemudian setelah

terpilih menjadi anggota legislatif mereka membuat peraturan

perundang-undangan yang memihak kepentingan individu dan

kelompoknya.10

Jadi, prinsip yang utama adalah negara dan pemerintahan

hendaknya tidak campur tangan dalam urusan warga negara,

kecuali dalam hal yang menyangkut kepentingan umum seperti

misalnya bencana alam, hubungan luar negeri, dan pertahanan

negara. Aliran pikiran semacam ini disebut liberalisme dan

dirumuskan dalam dalil, “Pemerintahan yang paling sedikit

adalah yang paling baik” (the least governemnt is the best

government) atau dengan istilah Belanda dikenal sebagai

Staatssonthouding. Negara dalam pandangan semacam ini

disebut juga Negara Penjaga Malam (Nachtmachterstaat) yang

sangat sempit ruang geraknya. Ditinjau dari segi hukum,

konfigurasi negara semacam ini dikenal juga sebagai Negara

Hukum Klasik.

Menurut Miriam Budiardjo, tatanan yang melekatkan ruang

gerak negara dalam porsinya yang sempit itu didorong oleh

keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara

efektif dengan cara membatasi kekuasaan pemerintahan

melalui konstitusi.11 Dalam hal ini, konstitusi itu menjamin

hak-hak politik  dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan

negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif

diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga

hukum, yang kemudian mencuatkan ide mengenai

konstitusionalisme.12

Dalam studi ilmu negara, kontekstualisasi kemunculan

Negara Hukum Klasik seperti diuraikan di atas, berpijak

kepada perkawinan antara teori ekonomi kapitalistik Adam

Smith dengan demokrasi konstitusional, yang berimplikasi

fungsi atau kewajiban negara. Seperti dituturkan oleh

Muchsan, agar setiap individu dalam melakukan kebebasannya

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka, dibutuhkan

adnaya keamanan dan ketertiban hukum. Dengan adanya

fourable climate dapatlah diciptakan kesejahteraan masyarakat.

Jadi, dalam negara yang bernapaskan liberalisme, perwujudan

kesejahteraan masyarakat lebih banyak diserahkan kepada

masyarakat itu sendiri sehingga fungsi negara terbatas hanya

dituntut menciptakan suatu situasi yang dapat melancarkan

kesejahteraan tersebut.13

Menurut Mochtar Mas’oed14, birokrasi sebagai aktor negara

dalam sistem bernegara ini masih mencakup fungsi yang

terbatas. Fungsi paling sederhana dengan tingkat keaktivan

paling rendah adalah sekedar melakukan administrasi.  Ia

hanya melaksanakan pekerjaan secara administratif, mencatat

statistik, dan menyimpan arsip. Kadang-kadang ia digambarkan

seperti “tukang jaga malam.” Kalau masyarakat sibuk bekerja,

negara tidak boleh ikut campur, tetapi kalau masyarakat tidur,

negara harus menjaga keamanan mereka. Ketika negara

sedemikian aktivnya, ia melakukan fungsi arbitrase dan

regulasi. Di sini, ia aktif menerapkan kekuasaan sebagai polisi

dan menyelesaikan sengketa antarberbagai kelompok

masyarakat dan mencoba mengendalikan kegiatan kelompok-

kelompok masyarakat itu sehingga tidak menimbulkan konflik

yang terbuka.

15 Hal ini dapat mengantarkan kepada suatu analisis tentang usaha

pemerintah  mengontrol oposisi serta mengembangkan strategi untuk

mengaitkan kepentingan-kepentingan masyarakat sipil yang diorganisir

menurut persekutuannya dengan struktur yang  menentukan dari rezim.

Strategi semacam ini disebut sebagai “korporatisme” yaitu suatu strategi

yang lebih berkaitan dengan penyelenggaraan perwakilan kepentingan

rakyat. Untuk itu negara mengatur dan menciptakan kelompok-kelompok

kepentingan dengan monopoli tertentu dan hak-hak istimewa dengan ciri-

ciri: (1) jumlahnya terbatas; (2) bersifat tunggal; (3) keanggotaan bersifat

wajib; (4) tidak saling bersaing; (5) diorganisasikan secara hierarkis; (6)

masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan fungsinya; (7) memiliki

C. Teori Negara Kapitalis Klasik

Teori ini merupakan pertentangan dengan pandangan

kapitalisme klasik Adam Smith tentang pengaturan masyarakat

oleh “tangan yang tidak tampak” (the invisible hand)16 dengan

pandangan demokrasi mengenai negara penjaga malam

(nachtwachtersstaat).17 Dalam teori ini, negara dipandang

sebagai organ kemasyarakatan dengan peran yang kecil. Fungsi

negara didefinisikan sebagai agen pelayanan sosial

kemasyarakatan (social servises).

D. Teori Negara Marxis Klasik

Ini merupakan satu versi teori negara dari Karl Mark (1818-

1883).18 Dalam teori ini negara dipandang sebagai badan yang

tidak mandiri dan tidak memiliki kepentingannya sendiri. Hal

ini terjadi, mengingat negara hanyalah panitia yang bertugas

melayani kepentingan kelas borjuis atau kelas pemilik modal

yang merupakan kelas dominan dan berkuasa dalam

masyarakat. Negara berfungsi untuk mengelola kepentingan

kaum borjuis itu. Negara memainkan peran “tidak penting”

monopoli dalam mewakilkan kepentingan menurut kategori masing-masing;

(8) memperoleh pengakuan, ijian atau bahkan diciptakan sendiri oleh

pemerintah; dan (9) pemilihan kepemimpinan dan cara mengajukan tuntutan

dikendalikan oleh pemerintah. Dengan menunjuk kepada konfigurasi Orde

Baru, kelompok kepentingan dengan ciri-ciri semacam itu antara lain Korpri

(PNS), PWI (wartawan), dan sebagainya. Tentang hal ini periksa: Mohtar

Mas’oed,  “Hak-hak Politik dalam Negara Hegemonik: Pokok-pokok

Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23 September 1984,.

atau sekunder, sehingga menjadi alat pemaksa sekaligus

penindas dari kelas dominan terhadap kelas proletar.19

E. Teori Negara Bonapartis

Teori negara ini merupakan versi lain dari teori negara Marx,

yang dihasilkan dari studinya di Perancis di bawah Louis

Bonaparte.20 Dalam teori ini, negara tidak hanya dipandang

sebagai alat yang berkuasa dan tak sekedar pengelola

kepentingan kaum borjouis. Negara mempunyai kemandirian

relatif sehubungan untuk mempertahankan sistem kapitalisme.

Perubahan pandangan ini dipicu adanya pertentangan antara

golongan pemilik modal dengan kaum buruh. Para kaum buruh

menuntut perbaikan kesejahteraan, termasuk upah dan hak

untuk mogok yang ditolak kalangan pemilik modal karena akan

mengurangi akumulasi keuntungan. Dalam kondisi ini, negara

menyadari tidak dipenuhinya tuntutan itu akan berpengaruh

terhadap tujuan jangka panjang negara dan hanya akan

melanggengkan kapitalisme. Oleh sebab itu tekanan kelas

borjuis ditolak oleh negara dan negara bertindak sendiri.

Negara tidak lagi menjadi alat pribadi dari kelas borjuis,

melainkan menjadi alat sistem kapitalisme. Ada suatu spekulasi

bahwa negara Bonapartes ini tercipta dalam keadaan di mana

kelas borjuis sudah dikalahkan dan kelas buruh sudah cukup

kuat untuk menguasai negara.

F. Teori Negara Pluralis

Teori ini melihat negara sebagai alat yang netral dari aktor-

aktor sosial politik yang menguasai atau mempengaruhi negara.

Paham ini menekankan peran penting dari heterogenitas

masyarakat. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok

kekuatan sosial politik yang saling berinteraksi. Menurut

paham ini, tidaklah mungkin ada satu kelompok yang secara

eksklusif mengendalikan negara, yang mungkin terjadi adanya

kelompok tertentu yang lebih dominan dibandingkan dengan

kelompok yang lain.

Negara, menurut paham ini, mencerminkan pluralisme yang

ada dalam masyarakat dengan jalan menjadikan dirinya cermin

pluralitas, serta dengan melaksanakan kebijakan sejalan dengan

keragaman kepentingan masyarakat. Semua kelompok,

golongan atau kepentingan, bersama-sama mempengaruhi dan

mengendalikan negara sebagai alat yang netral.22

G. Teori Negara Korporatis

Menurut Kevin Passmore, gagasan korporatisme secara

sederhana diartikan sebagai sebuah proses pengambilan

putusan atau kebijakan yang dilakukan oleh lembaga badan

yang terorganisir. Lembaga yang ada itu mencerminkan

kepentingan-kepentingan yang ada, seperti serikat buruh,

organisasi pengusaha, kelompok keluarga dan petani, dan

sebagainya. Dan itu tidak termasuk pemerintah atau

parlemen.

Dalam pandangan Passmore, korporatisme itu mempunyai

motif politik untuk menciptakan proses politik yang

terorganisir. Jalan yang ditempuh adalah mengikat setiap

asosiasi yang ada sehingga tunduk kepada kemauan negara,

untuk menciptakan suatu patriotisme alamiah dari setiap kelas

masyarakat.24 Gagasan ini telah berkembang jauh ketika Plato

menulis karya yang berjudul Republic, bahkan secara praktis

sudah dilaksanakan pada masa pemikiran Abad Pertengahan

Berjaya dalam wujud konkritnya yaitu pandangan fungsional

tentang masyarakat.25

H. Teori Negara Strukturalis

Teori ini memperlihatkan bahwa negara memiliki kemandirian

secara relatif yang biasa disebut otonomi relatif negara.26

Kemandirian negara dianggap lahir karena terjadi konfigurasi

struktural dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam kehidupan

masyarakat. Dengan demikian, kemandirian negara yang

bersifat relatif itu muncul dari perubahan sosial dan bukan

negara yang memformasinya. Dengan demikian, kemandirian

negara tidak merupakan inisiatif negara, melainkan produk

konfigurasi struktural masyarakat.

I. Teori Negara Organis

Teori ini memperlihatkan bahwa negara memiliki kemandirian

yang besar.27 Negara bukanlah cermin dari tuntutan dalam

masyarakat. Negara berperan aktif dalam mengambil kebijakan

non-demokratis sehingga negara “tidak melayani kepentingan

umum.” Yang terjadi adalah sistem totalitarianisme yaitu suatu

keadaan di mana akhirnya elit negara berlomba-lomba

berkuasa guna memenuhi ambisi kekayaan pribadi.


DEFINISI DAN

HAKIKAT NEGARA

A. 

Definisi negara berisi hakikat dan esensi karakteristik negara

yang sesungguhnya. Sekali pun demikian rumusan defisini itu

berada dalam alam gagasan manusia, sehingga tidak berbicara

negara itu sendiri, melainkan gambaran hal-hal yang berkaitan

dengan negara. Definisi negara berkembang dalam

pertumbuhan sejarah pemikiran manusia dan umumnya

merupakan hasil dari spekulasi filosofis. Definisi negara yang

universal diterima ketika didasarkan kepada penyelidikan

berbagai pemikiran kemudian diambil ciri-ciri karakteristiknya

dari kenyataan yang bersifat umum. Definisi negara yang

paling ideal mempertimbangkan kenyataan manusia sebagai

makhluk politik.

Ciri-ciri umum karakterisitk negara mencakup:

1. Negara merupakan gabungan dari sejumlah kehidupan

manusia.

32 | Definisi dan Hakikat Negara

2. Negara eksis karena adanya ikatan jiwa antara manusia

dengan negara.

3. Negara terdiri atas kesatuan yang meliputi bangsa-bangsa.

B. Pendapat Ahli

Ada sejumlah pendapat yang disampaikan oleh para ahli

mengenai definisi negara.

1. Menurut Poulantzas, negara merupakan badan yang

dominan, hegemonik, dan mandiri dalam membuat

kebijakan.1

2. Menurut Anthony Gidden, negara merupakan badan yang

kuat untuk menggapai tujuan jangka panjang guna

melindungi sistem produksi kapitalis.2

3. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat

yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang

bersifat memaksa di mana individu atau kelompok

merupakan bagian dari masyarakat itu.3

4. Menurut Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang

mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik

secara sah dalam suatu wilayah.4

5. Menurut Robert Mac Iver, negara adalah asosiasi yang

diselenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat pada

suatu wilayah yang berdasarkan sistem hukum yang

diselenggarakan oleh pemerintah.5

6. Menurut Woodrow Wilson, negara merupakan orang-orang

yang diorganisasikan dalam suatu wilayah tertentu.6

7. Menurut Miriam Budiardjo, negara merupakan suatu

daerah yang rakyatnya diperintah oleh pejabat yang

menuntut kepatuhan warganya menurut aturan serta melalui

kontrol dan kekuasaan yang sah.7

Jika diperhatikan berbagai pendapat para pakar di atas

menunjukkan sifat spekulasi filosofis mengenai kedudukan

negara sebagai alat/agency yang mempunyai wewenang

tertentu dalam mengendalikan persoalan-persolan dalam suatu

wilayah tertentu. Singkatnya, negara merupakan alat untuk

mencapai suatu tujuan dan alat itu berupa organisasi yang

berwibawa.8

C. Hakikat Negara

Sifat hakikat dari sebuah negara senantiasa sama walaupun

corak negara itu berbeda satu sama lain. Sebagai organisasi di

masyarakat, ia dibedakan dari organisasi-organisasi lain karena

negara mempunyai sifat-sifat yang khusus. Kekhususannya

terletak pada monopoli kekuasaan jasmaniah yang tidak

dimiliki oleh organisasi yang lain.

Hal ini karena negara dapat mendisiplinkan warganya

melalui mekanisme penjatuhan hukuman. Selain itu, negara


juga dapat mewajibkan warganya untuk mengangkat senjata

kalau negara itu diserang oleh musuh. Kewajiban itu juga

berlaku bagi warga negara di luar negeri. Negara dapat

memerintahkan warga negara untuk memungut pajak dan

menentukan mata uang yang berlaku di dalam wilayahnya.

Dengan demikian hakikat negara dapat dikualifikasi ke dalam 3

karakteristik sebagai berikut:

1. Bersifat memaksa.

2. Bersifat monopoli.

3. Bersifat mencakup semua (all-encompassing all

embracing).


UNSUR-UNSUR

NEGARA

A. 

Sekali pun sudah sering dicoba, hingga kini sulit untuk

menentukan secara pasti unsur-unsur yang memformasi

negara.1 Ketentuan yang pasti yang menentukan unsur-unsur

berdirinya suatu negara terdapat dalam The 1933 Montevideo

Convention on the Rights and Duties of States2 yang

menyebutkan adanya empat unsur-unsur sebagai hal yang

menentukan pemformasian negara.

1Lihat: the International Law Commission’s work on the proposed

Declaration on the Rights and Duties quoted in Crawford, Creation of States

in International Law, hlm.38-39.

2 Crawford J., 2006, Creation of States in International Law, 2nd

edition, Oxford University Press, hlm. . 32.

36 | Unsur-Unsur Negara

Unsur-unsur tersebut adalah (i) jangkauan wilayah yang

pasti; (ii) diselenggarakan oleh pemerintahan yang efektif; (iii)

adanya penduduk sebagai warga negara yang tetap; dan (iv)

kemampuan untuk melakukan hubungan internasional,

termasuk kewajiban menaati perjanjian internasional.3 Unsur-

unsur itu sering disebut sebagai the tradisional kriteria.

Kriteria itu diakui menurut prinsip efektivitas4 dan dalil dalam

bahasa Latin ex factis jus oritur, yang artinya kepastian hukum

menggambarkan sebagian dari fakta.5 Hanya saja dewasa ini

diperkenalkan unsur lain sebagai syarat berdirinya negara yaitu

exepcitional case.6

B. Wilayah

Syarat ini menjadi problematik. Tak ada ketentuan yang pasti

berapa kah luas minimum suatu wilayah untuk ditetapkan

sebagai salah satu unsur yang memformasi negara. Crawford

mengatakan, hak suatu negara yang independen untuk

menyusun pemerintahan yang berada dalam suatu wilayah

tertentu.7 Dalam formulasi ini, mempunyai makna sebagai

“kedaulatan wilayah.” Jangkauan kedaulatan wilayah ini,

menurut pendapat Mahkamah Internasional dalam Island of

Palmas Case, “involves the exclusive right to display the

activities of a State.”8

Suatu negara baru akan mampu mengontrol dirinya terhadap

“negara induk”, akan tetapi bukanlah dapat dikatakan sebagai

hal yang sebaliknya, apabila negara tersebut tidak mampu

berdaulat atas wilayahnya sendiri, dianggap belum dalam

kondisi sebagai negara mandiri. Masa kendali kontrol itu dapat

berlangsung dalam bermacam-macam situasi, akan tetapi 2

tahun adalah suatu masa sebagai “the minimum time period

necessary to qualify as a state.”9

C. Penduduk

Unsur ini dalam sejumlah kasus tidak dianggap sebagai suatu

masalah. Kenyataannya, definisi unsur ini diperluas sedemikian

rupa untuk dapat mencakup seluruh bagian dari tuntutan.

Syarat “tetap” dalam unsur ini dapat diartikan dalam 2 hal.

Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai

dasar untuk menentukan tempat tinggalnya. Kedua, wilayah

itu—sebagai tempat tinggal—dapat diajukan tuntutan sebagai

lingkungan tertentu. 10 Pada asasnya tak ada ketetapan yang

pasti jumlah penduduk minimum untuk memformasi negara.

Penentu status penduduk adalah ikatan hukum dalam satu

kebangsaan.

D. Pemerintahan yang Efektif

Menurut Crawford, “The requirement that a putative State

have an effective government might be regarded as central to

its claim to statehood.”12 Makna pemerintahan sendiri dapat

dikaitkan dalam hubungan kepada 2 hal. Pertama, meliputi

lembaga-lembaga politik, administratif, dan eksekutif, yang

bertujuan untuk melakukan pengaturan dalam komunitas yang

bersangkutan dan melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan

dalam aturan hukum. Kedua, dengan menggunakan prinsip

afektivitas, kriteria government menunjuk kepada makna

“pemerintahan yang efektif” yang berarti lembaga politik,

administratif, dan eksekutif sungguh-sungguh melaksanakan

tugasnya dalam wilayah yang bersangkutan dan diakui oleh

penduduk setempat.13 Supaya efektif, maka pemformasian

lembaga-lembaga itu didirikan dan diatur oleh hukum yang

ditetapkan setelah pemformasian negara yang bersangkutan.14

Dalam hukum internasional tak ada ketentuan pasti

bagaimanakah kriteria kekuasaan negara itu dijalankan kecuali

berdasarkan bahwa hal itu berhubungan dengan self

determintion right. Keberadaan sistem pemerintahan akan

menjamin kepastian hukum berdirinya negara dan umumnya

sudah dipersiapkan saat pendirian suatu negara.

E. Hubungan dengan Negara Lain

Sebagian ahli menyebutkan syarat ini merupakan unsur

deklaratif, dan bukan unsur konstitutif berdirinya suatu negara.

Hal ini karena kemampuan menjalin hubungan dengan negara

lain lebih merupakan konsekuensi lahirnya suatu negara

dibandingkan sebagai syarat pendiriannya.15 Bahkan, syarat ini

tak hanya diperuntukkan bagi negara, akan tetapi juga untuk

organisasi internasional, termasuk bagian dari pengaturan

konstitusional seperti halnya dalam sistem federasi.16

F. Kriteria Modern

Konsep afektivitas memegang peran utama dalam syarat

berdirinya negara.17 Afektivitas bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum dalam situasi nyata. Alasan penggunaan

prinsip ini adalah karena tidak adanya lembaga terpusat yang

mampu memaksakan hak dan kewajiban di tingkat

internasional.18 Oleh sebab itu, prinsip efektivitas merupakan

syarat pengakuan status hukum.

Dalam kaitannya dengan penentuan unsur-unsur berdirinya

negara, prinsip efektivitas bertujuan untuk landasan

menghadapi gugatan pihak lain. Pendiri negara sudah

melakukan perhitungan terhadap tindakan-tindakan mereka

saat menyatakan berdirinya suatu negara. Andai kata penentuan

syarat wilayah misalnya, dilakukan menurut suatu perjanjian

sebagai landasan hukum, maka prinsip efektivitas ini menjadi

tak begitu penting. Dalam kasus kolonisasi, ketidakmapuan

pemerintahan bekerja secara efektif merupakan kompensasi

dari adanya “right of external self-determination.”19

Di dalam praktik, prinsip efektivitas ini tak hanya berlaku

untuk penentuan unsur-unsur berdirinya negara. Misalnya,

dalam kasus Ethiopia, Austria, Czechoslovakia, Poland, the

Baltic States, Guinea-Bissau, dan Kuwait diakui sebagai negara

sementara keberadaan unsur-unsur pendiriannya tidak efektif.

Kemudian dalam kasus Rhodesia, Taiwan, dan the Turkish

Republic of Northern Cyprus, sekalipun unsur-unsurnya

efektif, akan tetapi tak dapat diakui sebagai negara. 20 Ada

banyak istilah untuk menyebut negara dalam kondisi ini,

seperti de facto state, quasi state, unrecognized state21,

unacknowledged condition22, pseudo state23, isolated state24,

ostracised state25, dan separatist state.

22 R. Baker, “Challenges to Traditional Concepts of Sovereignty”,


Oleh sebab itu, secara akademik, di samping prinsip

efektivitas, penilaian unsur-unsur berdirinya negara dalam

kajian kontemporer mengajukan usul kriteria modern.

Crawford menyebutnya sebagai kriteria de facto. Seperti kasus

Taiwan yang telah efektif mempunyai unsur-unsur pendirian

negara, akan tetap tak dapat bertindak sebagai negara dalam

ranah hukum internasional.27 Menurut Michael Rywkin, de

facto state lahir karena “detachment from a ‘parent state’ as a

result of an ethnic or religious conflict or state disintegration,

the wrong policy of a respective ‘mother state’ causing fear

among the population of the territory in question, existence of

an outside protector supporting the claims of the quasi-state,

lack of substantial recognition of the quasi-state, the fact that

despite their need for external support, these territorial units

function like real states.”28

Menurut Pål Kolstø, pengertian de facto state mempunyai 2

konsepsi yaitu, “the first one is a recognized state which has no

effective machinery to assert factual control over its whole

territory, the second case refers to the situation in which a

region of a respective state has seceded from that state and has

gained effective territorial control over a portion of the land

claimed by its elites, but the lack of recognition is its essential

feature.”29 Sehubungan dengan itu, penulis yang sama

mengatakan bahwa, “in order to clear up this confusion,


recognized but ineffectual states ought to be referred as ‘failed

states’, while the term ‘quasi-states’ ought to be reserved for

unrecognized, de facto states.”30 Selanjutnya diuraikan bahwa

“It is of overwhelming importance to note that the concept of

sovereignty is crucial in the context of clarifying the status of

the territorial entities involved. Kolstø asserts that modern

states are in possession of double sovereignty: internal (vis-à-

vis their citizens) and external (vis-à-vis foreign states) and it

follows that failed states and quasi-states represent deviations

from this ‘normal’ situation as the first category lacks internal

sovereignty despite its international recognition and in the

second case ‘the state as such is not accepted by the

international community as legitimate.”31

Menurut S. Pegg, “a de facto state exists where there is an

organized political leadership which has risen to power

through some degree of indigenous capability; receives

popular support; and has achieved sufficient capacity to

provide governmental services to a given population in a

specific territorial area, over which effective control is

maintained for a significant period of time.


ASAL MULA NEGARA

Pembahasan mengenai terformasinya negara dapat dibagi ke

dalam beberapa masa tahap pemikiran sebagai berikut:

1. Masa Yunani Kuno

2. Masa Romawi Kuno

3. Abad Pertengahan

4. Abad Renaissance

5. Masa Aukflarung

6. Masa Berkembangnya Teori Kekuatan

7. Masa Teori Positivisme

8. Masa Teori Modern

Berikut disajikan pembahasan pemikiran mengenai asal

mula negara dalam masing-masing periode secara ringkas.

A. Masa Yunani Kuno

Pada masa ini, pemikiran mengenai asal mula negara tumbuh

bukan karena Yunani sudah terformasi sebagai suatu negara


yang mandiri. Pada abad 4-8 SM masyarakat Yunani —atau

yang menggunakan bahasa atau terpengaruh kebudayaan

Yunani— tersebar di banyak tempat seperti Yunani, Kepulauan

Aegean, pesisir Asia Kecil, dan Kepulauan Sicily dan Italia

Selatan, termasuk semenanjung Mediterania termasuk Spanyol

dan Prancis, Libya, Mesir, dan Laut Hitam.

Bangsa Yunani tersebar di ratusan polies, salah satunya

adalah Athena, yang dikenal telah memenuhi persyaratan

sebagai sebuah negara modern, tetapi komposisinya sedikit

lebih besar dibandingkan dengan sebuah desa di negara modern

dewasa ini. Berbagai polies secara esensial merupakan

kesatuan politik yang independen, yang berhubungan antara

satu dengan yang lain, termasuk independensi dalam

menetapkan hukum dan menyusun kebijaksanaan masing-

masing.

Athena adalah polis terbesar dari jumlah penduduk,

kekuasaan, dan pengaruhnya, sampai kemundurannya akibat

orang Sparta. Pada masa Yunani Kuno ini, khususnya di

Athena, telah muncul banyak orator ulung, termasuk pemikir

filosof seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filosof itu

kebanyakan tinggal di wilayah Ionia (kawasan Asia Kecil, kira-

kira di Turki sekarang).1

Socrates (469-399 SM)

Menurut Socrates, negara bukanlah organisasi yang dapat

dibuat oleh manusia untuk kepentingan diri sendiri. Negara

adalah jalan susunan objektif yang berdasarkan hakikat

manusia. Manusia saling membutuhkan, manusia saling

bergaul, dan manusia saling menolong. Oleh karena itu, tugas

negara adalah melaksanakan hukum. Hukum yang objektif

mengandung keadilan bagi umum dan tidak semata-mata

melayani kebutuhan penguasa yang oknum-oknumnya silih

berganti.

Dalam pandangan Socrates, dengan berjalannya hukum dan

pemerintahan mempunyai efek untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan dan ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum,

akan menimbulkan tiga keadaan: seseorang akan melukai

orang tuanya, guru, dan mengingkari janji yang telah dibuat.

Oleh sebab ketidakpatuhan ini, akan mendorong perilaku

berbohong yang akan membahayakan negara secara

keseluruhan. Socrates menentang pendapat Glaucon, yang

mengatakan bahwa secara kodrati manusia memang senantiasa

berbuat tidak adil dalam pergaulan dengan sesama. Menurut

Socrates, manusia mempunyai kekuatan untuk menghindari

perilaku salah atau menyalahkan orang lain dan akan segera

mengambil faktor penentu lain untuk memperoleh kemanfaatan

dalam berhubungan dengan orang lain dan komitmen ini

tidaklah tercantum di dalam aturan-aturan yang dibuat oleh

negara.

Cara pandang Socrates yang mengajarkan pola pikir kritis

itu dianggap berbahaya. Oleh karena itu ia kemudian

ditangkap, diadili, dan dihukum dengan cara minum racun.

Selama dalam masa tahanan dan sebelum saat pelaksanaan

hukuman, sesungguhnya Socrates dapat dengan leluasa

melarikan diri dari penjara. Kawan satu tahanan pun membujuk

Socrates segera mengubah pandangan-pandangan hidupnya

supaya terbebas dari hukuman, akan tetapi Socrates menolak.

Alasan Socrates adalah sudah menjadi kewajiban setiap warga


negara untuk mematuhi hukum yang berlaku, sekalipun ia

sendiri menyadari bahwa ia menjadi korban dari perlakuan

hukum yang tidak adil tersebut.

Plato

Plato (427-347) adalah murid Socrates. Di dalam buku yang

berjudul Protagoras, Plato mengatakan bahwa sekali pun

manusia mempunyai kekuatan untuk memperoleh makanannya

sendiri, dirinya tak akan mampu menghadapi kekejaman seekor

binatang. Dalam posisi ini, manusia adalah belum mempunyai

civic skill, kemauan untuk hidup bersama sesamanya dalam

suatu masyarakat. Dalam karya yang lain, Laws, ketika

makanan jarang maka manusia akan berusaha untuk

mencegahnya dan oleh sebab itu akan bersatu dengan manusia

yang lain. Sekali pun belum mengenal aturan formal, manusia

yang berkelompok itu berkembang menjadi kesatuan yang

lebih besar dan akhirnya menjadi sesuatu yang mendekati

sebuah negara nasional. Dengan simbol memenuhi kebutuhan

akan makanan tersebut, Plato mengisyaratkan bahwa

berdirinya suatu negara didorong oleh kesadaran manusia

untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.

Negara yang pada akhirnya terformasi itu bukanlah entitas

yang statis, melainkan dinamis yang perubahannya dikenal

dengan Siklus Plato. Maksudnya, pada awalnya negara

berformasi aristrokrasi. Jika para aristokrat itu mulai mengenal

ambisi duniawi, maka akan berubah menjadi tymokrasi. Jika

pembesar negara itu kemudian mulai bersekutu dengan orang-

orang kaya, maka akan memicu pemberontakan rakyat dan

kemudian melahirkan negara demokrasi. Akan tetapi,

demokrasi dapat lenyap jika tidak ada keamanan dan ketertiban

yang mendorong kelahiran diktator dalam negara tirani.  Lama-


lama ada gerakan rakyat yang memberontak dipimpin para

cendekiawan, yang kemudian menggulingkan tirani, dan

negara kembali ke formasi aristrokrasi, demikian seterusnya.

Plato sendiri menyenangi pendidikan sebagai jalan untuk

menumbuhkan kesadaran kepada rakyat akan cara mengatasi

kesukaran-kesukaran yang ditemui. Oleh sebab itu, Plato

mensyaratkan agar negara dipimpin oleh filosof, karena mereka

lah yang dapat mendidik rakyat seperti itu.

Aristoteles

Karena merupakan murid Plato, maka jalan pikiran Aristoteles

(346-322 SM), sama dengan sang guru tersebut. Dalam

argumen Aristoteles, negara yang baik adalah negara yang

memberlakukan hukum-hukum yang baik. Negara baik dapat

ditemui jika hukum berdaulat di dalamnya. Jadi Aristoteles

sangat menyukai adanya penguasa yang memerintah

berdasarkan konstitusi dan memerintah dengan persetujuan

warga negaranya, bukan pemerintahan diktator.

Mengenai asal mula negara, Aristoteles memberikan

pendapat yang tidak berbeda jauh dengan Plato, yang meyakini

bahwa negara merupakan gabungan dari keluarga-keluarga

yang menjadi kelompok besar. Kemudian kelompok ini

bergabung kembali lalu menjadi desa, kemudian desa

memformasi negara.

Negara terbaik adalah yang berformasi Republik

Konstitusional dan pemerintahannya adalah pemerintahan yang

berdasarkan konstitusi, dengan ciri-ciri sebagai berikut:2

1. Pemerintahan untuk kepentingan umum;

2. Pemerintahan dijalankan menurut hukum; dan

3. Pemerintahan mendapatkan persetujuan dari warga

negaranya.

Menurut Aristoteles dalam buku yang berjudul

Nicomachean Ethics, keadilan dan kesetaraan tercapai dengan

pengaturan oleh hukum, dan hukum bertahan diantara

kenyataan adanya ketidakadilan, ketika pelaksanaan hukum

bersifat diskrimination dalam menentukan mana yang adil dan

mana yang tidak adil. Keadilan itu sendiri dapat bersifat

distributif maupun korektif. Keadilan distributif  adalah

keadilan yang mencakup pembagian pendapatan, kekayaan,

dan aset-aset lain dalam masyarakat. Dalam alam pikiran

modern, keadilan yang ini lazimnya disebut “keadilan

legislatif” (legislative justice).3

Sementara itu, keadilan korektif tidak sama dengan keadilan

legislatif, tetapi ia merupakan suatu justice of the courts,

keadilan yang ditentukan oleh pengadilan. Keadilan korektif

memulihkan kembali hak-hak yang dilanggar, mengembalikan

kepada keseimbangan semula sebelum terjadinya pelanggaran.

Keadilan korektif dapat tercapai secara sukarela maupun

dengan paksaan. Keadilan dengan sukarela terjadi dalam

perbuatan seperti menjual, membeli, meminjam, menabung,

memadamkan api, dan sebagainya; sementara paksaan antara

lain melalui pemenjaraan, pembunuhan, dan perampokan

dengan kekerasan.

Dalam buku Nicomachean Ethics tersebut, Aristoteles juga

mengemukakan masalah kesetaraan, yang disebutnya

“memiliki pengertian tidak begitu jauh dari keadilan.” Hanya

saja kesetaraan tidak diberikan oleh hukum karena hukum tidak

bisa memberikannya atas semua kasus, khususnya melalui

keadilan korektif.5 Kesetaraan sendiri merupakan wujud nyata

dari keadilan.

B. Masa Romawi Kuno

Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Yunani yang besar

itu kemudian terpecah-pecah dan jatuh dalam kekuasaan

imperium Romawi. Oleh sebab itu, sedikit banyak kebudayaan

Yunani mempengaruhi Romawi, sekalipun ada sejumlah

perbedaan di antara keduanya.6

Setelah meninggalkan formasi kerajaan, Romawi kemudian

menjadi negara republik, tetapi dimaksudkan dengan formasi

ini tidaklah sama dengan pengertian di alam modern dewasa

ini, tetapi suatu formasi pemerintahan yang ditandai dengan

dominasi oleh sekelompok Aristokrat. Ada sebagian pejabat

publik yang dipilih dan mempunyai parlemen (Senate) yang

terdiri dari warga negara yang sudah dewasa. Komposisi Senat

meliputi para kepala keluarga, sehingga rekrutmen dilakukan

dari golongan kelas atas, dengan kewenangan terbatas di

bidang legislatif, akan tetapi dilekati juga fungsi sebagai

penuntut umum.

Pelaksanaan fungsi Senat jangan dibayangkan dengan kerja

parlemen modern yang penuh dengan perdebatan atau

pengajuan usul rancangan undang-undang lazimnya dewasa

ini, akan tetapi hanya menerima atau menolak usul-usul yang

diajukan oleh pemerintah, yang sebelumnya dipilih olehnya.

Pemerintah meliputi: (i) paretors yang bertanggung jawab

terhadap administrasi pengadilan; (ii) quaestors, yang

mengelola keuangan; dan (iii) aediles, yang menjalankan

fungsi kepolisian.7

Kalau bangsa Yunani menggunakan istilah polis untuk

mengabstrasikan alam pikiran mengenai negara, maka Romawi

menggunakan istilah civitas untuk menggambarkan hal yang

sama. Para pemikir kenegaraan yang terkenal pada masa ini

antara lain Lucretius (99-55 SM), Polybious (120-102 SM),

dan Cicero ( 106-43 SM).

Lucretius

Ahli kenegaraan ini mengikuti pola pikir Ephicurus, pemikir

Yunani murid dari Aristoteles yang memperkenalkan filsafat

individualisme. Menurut Locretius, manusia hidup tidak dalam

suatu masyarakat, akan tetapi mempertahankan diri dengan

ketersediaan pangan dan sandang yang ada di muka bumi.

Karena perasaan dengan kepentingan yang sama, manusia lalu

berkelompok untuk memformasi suatu komunitas yang lebih

besar melalui suatu perjanjian (foedera, treaty). Namun

komunitas ini mudah terpecah belah karena rebutan tambang

emas, yang memaksa pemikiran untuk membuat suatu aturan.

Oleh sebab itu, jika pada awalnya manusia dapat hidup

tanpa peraturan atau kebiasaan (custom), kemudian

memutuskan untuk menyusun peraturan dan menetapkan

undang-undang, dan memaksa orang-orang untuk bersedia

mematuhinya. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit

dijumpai orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum,

yang dengan tindakan-tindakannya menyebabkan terjadi

kekacuan dan ketidaktertiban kehidupan masyarakat.

Polybius

Pemikiran Polybius mengenai negara yang terkenal adalah

Siklus Polybius. Pada mulanya negara berformasi monarki

yang kekuasaan dilaksanakan oleh raja secara turun temurun.

Namun kemudian, raja itu bertindak sewenang-wenang dan

tidak memikirkan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah

berubah menjadi tirani yang dikendalikan oleh seorang

diktator.

Tirani mendapatkan tentangan dari cendekiawan dan

bangsawan yang menjatuhkan diktator, lalu pemerintahan

berubah formasi ke aristocrat. Dalam perkembangannya,

beberapa aristokrat tadi tidak lagi memikirkan kepentingan

rakyat sehingga formasi pemerintahan menjadi oligarki, yang

menyebabkan rakyat mendiri.

Dengan penderitaan rakyat itu, maka kemudian terjadi

pembangkangan sipil yang kemudian menempatkan rakyat

sebagai aktor utama pengambil keputusan kenegaraan dan

dalam hal ini pemerintahan berubah menjadi demokrasi, yang

antara lain memberikan kebebasan bertindak. Akibat

kebebasan yang tidak dikelola dengan baik, maka terjadi

kekacauan sehingga pemerintahan berubah menjad okhlokrasi.

Dalam keadaan kacau itu muncul orang kuat untuk

mengendalikan keadaan dan merubah formasi pemerintahan

menjadi monarki kembali.

Cicero

Dalam karya yang berjudul De republica, Cicero mengatakan

asal mula kehidupan bernegara tidaklah sama dengan jalan

berpikir Lucretius. Cicero mengatakan bahwa asal mula negara

adalah sebuah kota yang kemudian melalui sebuah kontrak

sosial, memformasi diri menjadi negara. Jadi, motivasi

pemformasian negara adalah dorongan rasional untuk

menciptakan ketertiban.

Dengan adanya kontrak sosial ini, Cicero meyakinkan

mengenai terhindarnya negara dari tirani. Bagaimana pun, kata

Cicero, tirani bertentangan dengan kepentingan negara itu

sendiri karena mengeskpresikan sosok manusia yang kejam.

C. Masa Abad Pertengahan

Masa Abad Pertengahan ini terbagi menjadi 2 periode yaitu

Masa Abad Pertengahan Awal (hingga tahun 1100 M) dan

Masa Abad Pertengahan Akhir (1100-1350 M). Masa ini

ditandai dengan lenyapnya berbagai gagasan kenegaraan masa

sebelumnya ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku

bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki abad

pertengahan.  Masyarakat Abad Pertengahan ini dicirikan oleh

struktur sosial yang feodal, kehidupan sosial dan spritualnya

dikuasia oleh Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan

kehidupan politiknya ditandai oleh rebutan kekuasaan diantara

kaum bangsawan.9 Dengan demikian, masyarakat Abad

Pertengahan terbelenggu oleh kekuasaan feodal dan kekuasaan

pemimpin-pemimpin agama, sehingga tenggelam dalam apa

yang disebut masa kegelapan.

Dalam masa ini, ajaran Nasrani menunjukkan dominasinya

dengan menggeser pengaruh agama Yahudi dan kebudayaan

Romawi. Sekali pun tidak secara langsung mengendalikan

negara, akan tetapi ajaran Nasrani mempunyai kepedulian

terhadap persoalan negara dan kepentingan politik. Keadaan ini

menimbulkan dualisme antara gereja dengan negara. Dalam hal

ini, negara yang mempunyai otoritas politik dan hukum, tidak

seberapa kuat berhadap dengan gereja yang mempunyai

wibawa keagamaan dan spiritual dengan jangkauan kekuasaan

yang lebih luas. Kekuasaan negara dianggap turunan dari

kekuasaan Tuhan, sehingga negara terserap di bawah pengaruh

gereja. Demikian pula, kehidupan ilmu pengetahuan

dikendalikan oleh gereja. Pemikiran-pemikiran kritis ditentang

sepanjang bertentangan dengan doktrin yang diajarkan oleh

gereja.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul gerakan untuk

melakukan perubahan sosial dan kultural yang berintikan pada

pendekatan kemerdekaan akal dari berbagai batasan. Gerakan

itu berpusat pada 2 kejadian besar yaitu Renaissance dan

reformasi. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan

kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, yang

berupa gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di

Italia pada abad ke-14 dan mencapai puncaknya pada abad ke-

15 dan ke-16. Masa Renaissance adalah masa di mana orang

mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan dengan

kebebasan bertindak seluas-luasnya, sepanjang sesuai dengan

apa yang dipikirkan karena dasar dari ide ini adalah kebebasan

berpikir dan bertindak bagi manusia. Kejadian tersebut di

samping telah mengantarkan dunia pada kehidupan yang lebih

modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu,

pengetahuan dan teknologi, telah pula memberikan sisi buruk

seperti perbuatan amoral dan melakukan apa saja yang

diinginkan sepanjang dikehendaki oleh akal.10

Berkembangnya pengaruh kebudayaan Yunani Kuno yang

mendorong Renaissance disebabkan terjadinya Perang Salib,

suatu perang antara penganut agama Kristen dan Islam selama

lebih dari 2 abad (1096-1291) dalam memperebutkan kota

Yerusalem. Dorongan Perang Salib bagi Renaissance ini

muncul karena terjadinya kontak gagasan antara dua pihak

yang berperang.11 Seperti diketahui, bahwa pada Abad

Pertengahan peradaban Barat tenggelam dalam kegelapan,

sebaliknya, dunia Islam pada waktu itu justru berada pada

puncak kejayaan peradaban yang karena perhatiannya untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga masa itu menjadi

“Peradaban Ilmu.”

Islam telah memberikan kontribusi besar kepada

kebudayaan Eropa dengan menerjemahkan warisan Parsi dan

Yunani yang kemudian disesuaikan dengan watak bangsa Arab

serta menyeberangkannya ke Eropa melalui Siria, Spanyol, dan

Sisilia, suatu arus penyeberangan yang menguasai alam pikiran

Eropa dalam Abad Pertengahan.12 Dipandang dari sudut

sejarah kebudayaan maka tugas menyeberangkan kebudayaan

ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya bagi penciptaan

ilmu pengetahuan yang asli, sebab tanpa migrasi budaya itu,

islam telah mengembangkan karya Aristoteles, Galenus,

Prolemaois, dan menyeberangkannya ke Barat, sehingga ilmu-

ilmu itu diwarisi oleh generasi Renaissance di Eropa.

Peristiwa lain adalah Reformasi, yaitu revolusi agama di

Eropa Barat pada abad ke-16 yang awalnya dimaksudkan untuk

perbaikan dalam geraja Katolik akan tetapi kemudian

berkembang menjadi asas-asas Protestanisme. Reformasi

dimulai ketika Martin Luther menempelkan 95 dalil di pintu

gereja Wittenberg (31 Oktober 1517) yang kemudian segera

memancing serangan kepada gereja. Berakhirnya Reformasi

ditandai dengan terjadinya perdamaian Westphalia (1648) yang

mengakhiri peperangan selama 30 tahun. Namun Protestanisme

yang lahir dari reformasi itu tidak hilang, melainkan tetap

menjadi kekuatan dasar di dunia Barat sampai sekarang.13

Para pemikir kenegaraan pada masa Abad Pertengahan

paruh pertama adalah:

1. Agustinus

2. Thomas Aquinas

3. Marsilius

4. Thomas Mores

Ciri-ciri pemikiran asal mula negara dalam masa ini adalah

sebagai berikut:

1. Kekuasaan negara diperoleh dari Tuhan dan negara sebagai

suatu organisasi bersedia untuk mematuhi segala perintah

Tuhan.

2. Konsepsi negara berdasarkan ajaran Tuhan (theocracy). Di

Eropa, berdasarkan ajaran Nasrani, mengakui dualisme

gereja dan negara. Hanya saja segala urusan spritual


merupakan bagian dari kekuasaan Tuhan yang

dilaksanakan oleh Paus, sedangkan ketertiban merupakan

urusan negara. Ajaran Protestan menolak konstruksi ini,

akan tetapi hanya mengakui satu kekuasaan yang melekat

pada negara, sekalipun mengakui bahwa sumber kedaulatan

adalah Tuhan.

3. Sistem pemerintahan adalah teokrasi tidak langsung,

maksudnya Pemerintah adalah wakil Tuhan yang

mengurusi kekuasaan negara.

4. Negara menggantungkan diri kepada masyarakat yang

beragama dan bertumpu pada satu keyakinan sehingga

segala sesuatu yang dianggap bid’ah akan dihukum dan

diasingkan.

5. Gereja merupakan pusat spritualiatas sedangkan negara

merupakan pusat kekuasaan; Hukum atau panduan

kehidupan di bawah lindungan raja, yang mana raja kebal

dan menduduki posisi yang terhormat.

6. Gereja mendidik kaum muda dan menolak kehadiran ilmu

pengetahuan.

7. Hukum publik dan privat tidak dibedakan, kedaulatan

wilayah digunakan untuk melindungi kepemilikan tanah,

dan bertumpu pada kekuatan keluarga bangsawan.

8. Sistem sosial kemasyarakatan bersifat feodal. Kekuasaan

negara terbagi-bagi, dari Tuhan kepada raja, dari raja

kepada bangsawan, lalu kepada kesatria, dan kepada kepala

wilayah (town). Hukum bersifat partikularistik.

9. Lembaga perwakilan terdiri dari bangsawan, yang mana

hukum negara ditentukan oleh para pendeta dan para

bangsawan.


10. Bangsawan besar dan kecil mempunyai kekuasaan untuk

meneruskan keturunannya, yang kekuasaanya jauh

berkembang seiring dengan melemahnya negara.

Sementara pada posisi lain kaum tani tidak menikmati

kebebasan yang berarti.

11. Negara pada masa ini menjalankan konsep Rechsstaat,

akan tetapi tidak ada pengelolaan badan pengadilan,

sehingga upaya menegakkan hak dilaksanakan oleh

masyarakat sendiri. Pemerintah dan birokrasi lemah dan

tidak berkembang.

12. Kesadaran spiritual rendah, dan jika ada, maka itu

dilaksanakan menurut insting dan tendensius, sehingga

kebiasaan merupakan sumber hukum yang utama.

Setelah Renaissance dan reformasi mulai muncul pemikiran

yang khas mengenai kenegaraan seperti nampak dalam karya-

karya:

1. Nicollo Machiaveli

2. Jean Bodin

3. Fransisco Suarez

4. Hugo Gratius

5. Thomas Hobbes

Nicollo Machiaveli (1469-1527)

Pemikiran mengenai negara dituangkan di dalam buku yang

berjudul Il Principle (Sang Penguasa). Menurut Machiaveli

negara merupakan puncak kesadaran tertinggi. Kesadaran itu

dicapai oleh kesadaran manusia itu sendiri dan tidak diberikan

oleh agama. Namun demikian ia menolak keberadaan negara

yang berdasarkan hukum seperti cita-cita pemikir Yunani dan


Romawi Kuno. Baginya, hukum publik tidak lebih merupakan

saran mencapai kesejahteraan dan juga memperbesar

kekuasaan negara. Negara amat ditentukan oleh bagaimana

politik kekuasaan dijalankan. Negara ada bukan karena alasan

moral atau hukum, tetapi karena kebutuhan politik. Politik dan

kekuasaan dijalankan oleh negarawan, tetapi tidak perlu

memperhatikan ajaran moral dan pertimbangan hukum. Cita-

cita untuk mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh harus

diabaikan.

Machiavelli memelopori tumbuhnya sistem politik yang

independen dari ajaran agama dan pemisahan antara hukum

dan politik. Dia mengajukan kebijakan negara yang tidak

bermoral dan tidak adil, yang menyumbang gagasan besar bagi

tumbuhnya politik yang korup pada setidaknya di 3 negara.

Machiavelli adalah penyokong intelektual untuk pemerintahan

yang tiran.

Abstrasi gagasan Machiavelli itu dikenal sebagai ragione di

statio atau dalih negara, yang kemudian ditafsirkan sebagai

politik “menghalalkan segala cara.” Ajaran ini sangat

mengejutkan bagi dunia yang baru beranjak dari Abad

Pertengahan yang didonomiasi oleh paham keagamaan.

Kendati dekat dengan kalangan Paus, Machiavelli telah

membahas kekuasaan dan politik secara sekuler.

Jean Bodin (1530-1598)

Bodin melihat negara merupakan hak pemerintah dengan

kekuasaan penuh. Basis negara adalah keluarga, kepemilikan

umum, dan kedaulatan. Bodin menyalalahkan gagasan

kenegaraan pada masa sebelumnya terlalu menekankan kepada

kesejahteraan. Dengan ajaran kedaulatannya, Bodin

memberikan kontribusi bagi berlangsungnya sistem monarki

absolut di Prancis. Bukan hanya di Prancis, gagasan Bodin juga

diterima di Inggris.

Bodin berpendapat bahwa negara adalah keseluruhan dari

keluarga dengan segala miliknya yang dipimpin oleh akal dari

seorang penguasa yang berdaulat. Para keluarga, yang menjadi

basis berdirinya negara, menyerahkan beberapa hal menjadi

urusan negara yang kemudian membuat kekuasaan negara

dibatasi tindakannya menurut moralitas hukum alam.

Raja sebagai pemimpin yang berkuasa disampiri oleh atribut

kedaulatan yang bersifat, pertama, tunggal. Ini berarti hanya

negara yang memiliki segalanya jadi di dalam negara itu tidak

ada kekuasaan lain yang membuat undang-undang atau hukum.

Kedua, asli, yang berarti kekuasaan itu tidak berasal dari

kekuasaan lain, bukan diberikan atau diturunkan dari

kekuasaan lain. Ketiga, abadi. Kekuasaan tertinggi ada pada

negara. Keempat, tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan itu tidak

dapat diserahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian

maupun seluruhnya.

Fransisco Suarez

Fransisco Suarez merupakan pemikir hukum dari Spanyol yang

beraliran Jesuit.  Dalam karya yang berjudul De legibus ac Deo

legislatore (1612), dikatakan bahwa orang-orang bergabung

memformasi negara sebagai political body adalah “by their

deliberate will and common consent14.” Kemudian, dari

pemformasian negara itu, kekuasaan diserahkan kepada

seseorang sebagai raja atau kepada negara lain, dan kemudian

sang raja mewariskan kekuasaan turun temurun dengan syarat-

syarat yang sama pada saat ia menerima kekuasaan untuk

pertama kali dari masyarakat.

Dalam pandangan Suarez, tidak benar bahwa Tuhan yang

memberikan kekuasaan kepada raja, tetapi mungkin saja

memberikan wahyu seperti yang dialami oleh Sulaiman dan

Dawud, tetapi jelas itu bukan merupakan hukum. Dalam situasi

norma, masyarakat yang menentukan sebuah wewenang

pemerintahannya, dan kemudian atas kehendak Tuhan semua

itu dapat terlaksana.15

Hugo Gratius (1583-1645)

Gratius juga sering disebut sebagai Bapak Hukum

Internasional karena pemikirannya dianggap sebagai peletak

dasar teori hukum internasional, sebagaimana karyanya dalam

buku De Jure Bell ac Pacis, artinya “Hukum Perang dan

Damai.” Menurut Gratius, negara ada karena perjanjian

masyarakat, akan tetapi perjanjian itu tidaklah karena

mendapatkan ilham dari Tuhan, melainkan atas dasar rasio

manusia itu sendiri. Dia menghargai pemikiran individu

manusia. Oleh sebab itu, peradaban baru manusia itu tidak

karena terformasinya negara, melainkan karena keberadaan

para individu tersebut.

Pemisahan tajam antara gereja dengan politik negara dan

penghargaannya kepada kebebasan manusia merupakan prinsip

dasar dari gagasan penulis Belanda ini. Dia menyebut negara

sebagai kesatuan dari kebebasan manusia yang bergabung di

dalamny